Suatu ketika saya sedang membantu seorang teman untuk mempersiapkan perayaan natal di sebuah SLTP Negeri di Semarang. Di dalam ruangan yang hendak dipakai untuk perayaan tersebut secara tidak sengaja saya melihat sebuah lambang yang pasti (sangat) tidak asing bagi kita semua, yaitu lambang pendidikan nasional. Di dalam lambang tersebut ada untaian kata yang sangat terkenal, yaitu “Tut Wuri Handayani”, yang artinya kira - kira adalah “mendukung dari belakang”. Saya masih ingat dari pelajaran sejarah bahwa untaian kata mutiara tersebut dicetuskan oleh seorang tokoh nasional yang hari lahirnya kita peringati bersama sebagai Hari Pendidikan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara. Saya juga ingat bahwa untaian kata mutiara tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan ada 2 frasa yang berada di depannya, “Ing Ngarsa Sung Tuladha” (di depan memberi teladan /contoh) dan “Ing Madya Mangun Karsa” (di tengah membangun semangat). Pada waktu melihat lambang itu, di dalam hati saya segera terbersit sebuah pertanyaan yang belum pernah terpikir sebelumnya. Pertanyaan tersebut adalah “Mengapa Tut Wuri Handayani, bukannya Ing Ngarsa Sung Tuladha atau Ing Madya Mangun Karsa, atau mengapa tidak ketiganya sekaligus?” Sejak duduk di sekolah dasar saya tidak pernah diajarkan mengapa justru frasa terakhir yang dipakai untuk melambangkan pendidikan nasional kita. Bahkan arti dari keseluruhan lambang itu pun tidak pernah diajarkan sama sekali. Saya langsung menghubungkan pertanyaan itu dengan kondisi pendidikan di negara kita saat ini. Kita tahu bersama bahwa pemerintah kita belum pernah secara serius memperhatikan masalah pendidikan di negara kita yang tercinta ini. Anggaran belanja negara yang seharusnya disisihkan sebesar 20% untuk pendidikan tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah kita, dengan dalih sedang memperhatikan masalah yang lebih serius, yaitu pemulihan ekonomi. Bahkan, Departemen Pendidikan Nasional kita sekarang merupakan salah satu dari departemen terkorup di Indonesia. Sungguh memprihatinkan kondisi pendidikan nasional kita saat ini. Pendidikan benar – benar “Tut Wuri Handayani” alias selalu menjadi prioritas kesekian di antara bidang – bidang yang lain. Sesuai dengan lambang pendidikan kita, para guru pun benar – benar dipandang sebagai golongan yang selalu ada di belakang, alias bukan siapa – siapa. Tidak ada secuilpun penghargaan yang diberikan, bahkan oleh masyarakat kita sendiri, terhadap seorang guru, kecuali predikat “pahlawan tanpa tanda jasa”. Bahkan jika kita mau mengamati sejenak sinetron – sinetron remaja berlatar belakang sekolah yang semakin merebak di stasiun – stasiun televisi saat ini, kita akan melihat betapa seorang guru dilukiskan sebagai pihak yang tidak berdaya, sehingga murid – muridnya bisa bertindak dan bersikap semau mereka sendiri, termasuk mengerjai ataupun menggodai guru mereka. Sementara itu kurikulum kita juga terkesan dibuat asal – asalan dan tidak pernah mencapai sasaran. Bahkan sampai sekarang pun kita tidak mempunyai formula yang tepat dan tetap untuk pendidikan nasional kita. UU Sisdiknas yang tahun 2003 kemarin dikeluarkan pun masih terkesan mencoba – coba dan ‘kejar tayang’, karena diterbitkan justru di tengah – tengah kontroversi dan perdebatan yang sengit. Saya mengerti ‘maksud baik’ pemerintah untuk memperbaiki kondisi pendidikan kita, akan tetapi maksud baik jika tidak dibarengi dengan pelaksanaan yang baik tidak akan pernah mencapai sasaran. Jikalau demikian, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Usulan saya sederhana saja: ganti frasa “Tut Wuri Handayani” dalam lambang pendidikan nasional kita dengan “Ing Ngarsa Sung Tuladha”. Dengan demikian kita bisa bersama – sama berharap generasi berikutnya nanti betul – betul memandang pendidikan sebagai sebuah faktor yang paling penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sekaligus juga berharap bahwa mentalitas bangsa kita nantinya bukan lagi mentalitas yang ‘ikut – ikutan’, melainkan mentalitas sebagai pemimpin dan trendsetter. Satu hal yang saya rindukan adalah kelak bangsa kita tidak lagi mengirim TKI – TKI yang tidak jelas nasibnya karena hanya bekerja sebagai PRT, melainkan TKI – TKI yang menjadi tenaga – tenaga ahli di mancanegara. Tentu saja penggantian frasa tersebut juga dibarengi dengan perubahan pola pikir pemerintah dan para pejabat pendidikan di negeri ini. Sebab jika tidak demikian, kita hanya akan terjebak pada semboyan – semboyan kosong belaka, tanpa ada realisasi. Kualitas dan kesejahteraan para guru dan tenaga pengajar dan pendidik lainnya harus semakin diperhatikan. Sang peternak sekarang harus lebih memperhatikan perbaikan gizi sapi perahnya daripada pembangunan kandang. Demikian juga halnya dengan kualitas kurikulum di negeri kita. Pemerintah harus berani mengutus para ahli di bidang pendidikan untuk mengadakan riset secara mendalam untuk mengetahui pola pendidikan seperti apa yang cocok untuk masyarakat kita. Dan yang jelas, anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan harus segera direalisasikan. Pemerintah tidak perlu lagi pusing - pusing memikirkan perbaikan ekonomi rakyat, karena sejarah menunjukkan bahwa bangsa kita telah terlatih untuk dapat bertahan hidup dalam masa – masa sulit. Selain itu, saya percaya bahwa perbaikan ekonomi akan otomatis muncul apabila tingkat pendidikan semakin meningkat, karena dengan demikian seseorang akan menjadi lebih kreatif dan inovatif untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya. Bagaimana halnya dengan kita? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Saya masih percaya bahwa perubahan terbesar di dunia dimulai dari diri sendiri, dan perubahan diri dimulai dari akal budi. Kita harus mulai menanamkan ideologi ini ke dalam pemikiran kita. Kita harus memiliki paradigma bahwa pendidikan yang berkualitas adalah suatu hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar – tawar lagi. Kita harus mulai belajar untuk mencintai ilmu, lebih daripada sekedar gelar atau nilai rapor, sehingga tidak ada lagi jual – beli gelar, pemalsuan ijasah, mencontek, ataupun “kejahatan – kejahatan pendidikan” yang lain. Semoga tulisan singkat ini dapat menambah wawasan kita tentang pentingnya pendidikan dan mendorong kita semua untuk berusaha menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang “Ing Ngarsa Sung Tuladha” di antara bangsa – bangsa yang lainnya.
Semarang, Januari 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H