Mohon tunggu...
Ayu Rakhmawati
Ayu Rakhmawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sepucuk Surat dari Seorang Anjal

17 Desember 2013   23:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepada teman-temanku

di seluruh penjuru Indonesia,

Perkenalkan, nama saya adalah Anjal. Saya adalah seorang anak yang dilahirkan di bumi Indonesia, tapi sebenarnya sampai sekarang saya ragu atas status diri saya sendiri, benarkah saya adalah bagian dari Negara ini? Pernyataan bahwa saya adalah anak Indonesia, itu merupakan pengakuan dari siapa?

Baiklah, saya jelaskan. Saya lahir tanpa mengetahui asal-usul diri saya. Siapa orang tua saya? Mereka tinggal di mana? Apa pekerjaan mereka? Saya sama sekali tidak mengetahuinya. Bahkan untuk apa saya hidup, sayapun tidak mau ambil pusing. Yang jelas, yang harus saya pikirkan adalah bagaimana cara agar sayabisa makan untuk bertahan hidup dengan layak. Saya tegaskan sekali lagi, nama saya adalah Anjal, Anak Jalanan.

Saya hidup di jalanan. Saya bisa beristirahat di mana saja. Di tepi jalan, di emperan toko, di kolong jembatan… di mana saja… di semua tempat yang memungkinkan untuk beristirahat, meskipun hanya beralas tanah dan beratap langit. Bisa dibayangkan dengan orang-orang seperti apa saya bergaul setiap hari.

Karena itulah saya berada di sini: merangsek ke dalam angkot dan bus di perempatan lampu merah, berjalan di trotoar sambil sesekali masuk ke kedai-kedai makanan untuk sekedar menyumbangkan lagu kepada para pendengar, yang saya yakin mereka tidak mengharapkan kehadiran saya di dekat mereka. Wajar jika saya dianggap sebagai pengganggu. Petikan gitar seadanya dengan vokal yang tentu saja tidak sepadan dengan suara Ariel ‘Noah’, memangnya siapa yang peduli dengan usaha ‘menghibur massa’ yang saya lakukan? Saya bahkan nyaris disejajarkan dengan pengemis. Diusir-usir oleh satpol PP, seperti penjahat saja…

Saya tidak bersekolah, jelas. Bagaimana mungkin sekolah bisa menerima anak yang asal-usulnya tidak jelas seperti saya? Saat mendaftar, Sekolah meminta saya untuk menyerahkan fotocopy KTP orang tua, beserta fotocopy buku nikah mereka. Nah, siapa orang tua saya? bagaimana caranya saya mendapatkan itu semua? Belum lagi biaya sekolah yang sulit dijangkau… alhasil saya tidak bisa bersekolah, tidak mendapatkan keahlian, akhirnya jadi pengangguran. Tapi saya tetap manusia, butuh makan, butuh uang. Keahlian terbatas, baca-tulis tidak bisa, berhitung tidak cakap, ijazah tidak punya, figur teladan tidak ada… bagaimana caranya agar saya bisa memperoleh pekerjaan yang layak dengan kondisi seperti ini? Lantas orang-orang menganggap saya sebagai pengganggu, pengemis. Sekarang, tolong jelaskan, bagaimana caranya agar saya tidak menjadi pengganggu untuk teman-teman semua? Apakah kemudian teman-teman akan menyarankan saya untuk berhenti berseliweran di jalanan sebagai pengamen karena merasa terganggu? Acara makan teman-teman di kedai makan akan terganggu oleh kehadiran saya, tapi saya akan lebih terganggu jika tidak mengganggu kenyamanan teman-teman, karena saya tidak bisa makan.

Belum lagi jika saya sakit, jaminan kesehatan tidak punya. Untuk membuatnya, saya harus memiliki persyaratan bla bla bla yang jelas tidak bisa saya penuhi, KTP misalnya. Bagaimana cara agar saya bisa memiliki KTP? Untuk membuatnyapun harus memenuhi syarat yang bagi saya, itu benar-benar memberatkan. Praktisnya, saya lahir dan menjalani hidup di Indonesia, tapi tidak diakui secara hukum. Saya tidak memiliki bukti legal yang menyatakan bahwa saya adalah Warga Negara Indonesia, dan saya tidak mengerti bagaimana cara memperolehnya.

Tapi jangan dikira bahwa saya hidup di jalanan dengan perasaan yang sangat hancur. Hidup di jalanan sejak kecil, segala macam gangguan yang ada adalah hal biasa. Saya tetap bisa merasa bahagia di sini, semua keadaan di jalanan adalah kekayaan tersendiri bagi saya yang tidak memiliki apa-apa. Meskipun saya bisa dikatakan pengangguran dan tidak bersekolah, tapi saya memiliki mimpi, saya memiliki cita-cita. Saya ingin menjadi peternak, orang-orang seperti saya banyak juga yang memiliki cita-cita. Ada yang bercita-cita menjadi dokter hewan, ada yang bercita-cita menjadi tentara… apakah memiliki cita-citapun adalah hal terlarang untuk kami? Kami saat ini tidak punya apa-apa, maka jangan larang kami untuk berhak memiliki mimpi untuk masa depan kami sendiri!

Tapi saya sangat berterimakasih, sungguh-sungguh berterima kasih kepada teman-teman yang tergerak hatinya untuk memperhatikan saya, menyadari pentingnya kebutuhan pendidikan bagi saya. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang secara sukarela, berkelompok maupun perseorangan mengajari saya membaca, menulis dan berhitung; menganggap kami sebagai saudara, saudara sesama anak Indonesia. Juga kepada teman-teman yang secara sukarela memberikan donasi materi kepada kami, semoga donasi yang teman-teman kirimkan sampai dengan ‘selamat’. Semoga kebaikan teman-teman tetap abadi sampai akhir hayat.

Saya juga berdoa, semoga pemerintah kita diberikan waktu luang untuk sejenak saja menyingkir dari kursi kekuasaan dan menyadari keberadaan saya, dan ribuan anak-anak seperti saya di negeri ini.

Sekian surat dari saya. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah bersedia membaca (kutipan) surat ini sampai akhir.

Di bawah langit Indonesia

15 Desember 2013,

Anjal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun