Mohon tunggu...
ayuputri
ayuputri Mohon Tunggu... Desainer - Pelajar SMA

Sekolah Dian Harapan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku, Seorang Pejuang Tanah Air

18 Agustus 2020   11:40 Diperbarui: 18 Agustus 2020   11:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://weheartit.com/entry/56932669/via/imawildchild

10 tahun yang lalu 

"Bu, mengapa sejak lahir, aku tidak pernah melihat Ayah?", tanyaku kepada Ibu. "Ada hal yang belum Ibu ceritakan kepadamu, nak. Ibu akan memberitahu kamu saat kamu sudah dewasa nanti", Jawab Ibu kepadaku. 

Seketika, suasana hening dalam meja makan. Aku merasa sedikit canggung jika bertanya hal ini kepada Ibu. Tetapi, aku harus mengetahui kebenarannya. Aku tidak bisa lagi membendung semua rasa penasaran ini. 

Sejujurnya, aku sangat iri kepada teman-teman yang diantar sekolah dengan ayahnya, dan dipeluk oleh ayahnya. Sebab, aku tidak bisa merasakan kebahagiaan itu. 

10 tahun kemudian 

Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Aku tumbuh menjadi seorang gadis tanpa seorang ayah. Namaku adalah Mawar Isabella dan biasa dipanggil Mawar. Usiaku saat ini sudah menempuh 20 tahun. 

Aku menjalani hari-hariku dengan penuh sukacita, sebab Ibu pernah berkata kepadaku bahwa namaku harus melambangkan siapa diriku, yaitu meskipun aku sedang mengalami masalah ataupun bersedih, aku tetap harus bahagia. Iya, bahagia tanpa seorang ayah. Seperti ibarat bunga mawar, ia tetap berdiri kokoh meskipun dikelilingi dengan duri-duri beracun yang menempel di tubuhnya. 

Aku sudah tamat sekolah dan sudah mendaftar di salah satu fakultas yang bagus. Aku termasuk salah satu murid yang berprestasi di sekolah sehingga dapat dengan mudah diterima di fakultas favorit, yaitu Universitas Jaya Indonesia. 

Karena aku tidak memiliki seorang ayah, maka ibuku yang selalu mengantar-jemput aku di kuliah. Salah satu alasanku untuk berkuliah disini adalah ingin membuat ibuku bangga dengan prestasi yang aku miliki. 

Sepulang dari kuliah, aku melihat Ibu sedang memasak di dapur. Rupanya, Ia sedang memasak daging balado kesukaanku. Aku pun segera menuju dapur untuk mengambil nasi dan menunggu Ibu memasak, sebab aku sudah sangat lapar. 

Kami makan bersama di meja makan dan mulai berbincang-bincang tentang lingkungan baru aku di kuliah maupun teman-teman baruku. Sebenarnya, terdapat satu hal yang ingin aku tanyakan kepada Ibu, yaitu tentang Ayah. 

Karena Ibu pernah bilang kepadaku bahwa akan menceritakannya saat aku sudah dewasa, maka aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Ibu soal Ayah. 

"Bu, Mawar kan sudah dewasa ya, Mawar mau tanya soal Ayah...Kenapa Mawar tidak pernah melihat Ayah ya, Bu?", tanyaku kepada Ibu. 

Ibu terlihat sedang menyiapkan jawaban untukku dan terlihat sebuah rasa kesedihan di wajahnya. Aku pun menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Ibu. Seketika, Ibu pun menjawab. 

"Jadi begini, Nak. Ayahmu adalah seorang pejuang negara Indonesia. Ia adalah orang yang sangat berjasa bagi negara kita. Ia tanpa ragu melawan tentara Jepang meski akhirnya gugur. Ibu tidak pernah sama sekali menyesali perbuatan Ayahmu, tetapi Ibu hanya rindu sebab saat Ibu sedang mengandung kamu, Ayahmu dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia dengan Jepang.", jawab Ibu kepadaku. 

"Tetapi, bagaimana bisa Ayah dibutuhkan saat itu juga, Bu?", tanyaku masih sangat penasaran kepada Ibu. 

"Karena Ayahmu adalah pemimpin dari prajurit-prajurit Indonesia, Nak. Ayahmu harus bertanggung jawab dan kapanpun Ia dibutuhkan, maka saat itu juga Ia harus datang. Indonesia telah ditipu oleh Jepang yang katanya ingin menjanjikan kemerdekaan, tetapi nyatanya tidak sama sekali. Jepang mulai menunjukkan bahwa mereka ingin menjajah Indonesia, sebab mereka membutuhkan sumber daya alam untuk perekonomiannya. Oleh sebab itu, Ayahmu tidak rela jika bangsa Indonesia terus dijajah seperti ini.", cerita Ibu kepadaku. 

"Apakah tidak ada cara lain untuk menaklukkan tentara Jepang, Bu?", tanyaku bingung. 

"Tidak ada, Nak. Ayahmu sudah berusaha untuk lari dari tembakan-tembakan yang diluncurkan oleh tentara Jepang, dan bahkan Ia sudah melindungi tentara Indonesia lainnya, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu ditembak di bagian dadanya oleh salah satu tentara Jepang pada saat ingin menyelamatkan Hindia-Belanda. Dengan berat hati, Ibu mengikhlaskan kepergian Ayahmu meskipun Ibu tidak diizinkan untuk mengunjungi jenazahnya, sebab kondisi saat itu masih sangat buruk, yaitu tentara Jepang masih memperlakukan kerja paksa pada bangsa Indonesia dan merampas perekonomiannya demi menguntungkan perekonomian Jepang. Bangsa Indonesia yang dijadikan budak sama sekali tidak digaji bahkan banyak yang mati karena kelaparan dan kelelahan akibat telah membangun jalan, jembatan, dan lapangan udara.", Ibu menjelaskan kepadaku. 

"Terus bagaimana dengan jenazah Ayah, Bu?" 

"Jenazah Ayah dikubur setelah Jepang menyerah pada sekutu, Nak. Kami menunggu kondisi yang sudah membaik baru menguburkan jenazah Ayah. Ibu dikabarkan kematian Ayah oleh seorang bawahan Ayahmu yang selamat dari tembakan Jepang. Ia datang ke rumah sambil menitipkan pesan terakhir Ayah yang meminta maaf karena tidak bisa hadir untuk kelahiran kamu.", jawab Ibu kepadaku. 

"Lalu, apa isi pesan terakhir Ayah, Bu?", tanyaku sambil melihat ke salah satu surat yang sedang digenggam oleh Ibu. 

"Begini isi suratnya." 

"Maafkan aku ya sayang, aku hanya berjuang demi negara kita dan anak kita. Aku sudah rela jika disuruh untuk melawan tentara Jepang. Aku tidak tega bila melihat bangsa Indonesia terus-menerus diperlakukan seperti ini. Aku cinta pada negeri ini dan juga kepada kamu dan anak kita. Doakan aku ya sayang, agar aku bisa pulang dengan selamat dan menyambut kelahiran anak kita. Tetapi aku minta satu hal kepada kamu, bila aku gugur, kamu jangan bersedih. Aku meminta kamu ikhlas dengan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Disini, aku tidak pernah lepas untuk mendoakan keluarga kita. Semoga Tuhan dapat menyertai kita semua dan anak kita dapat lahir dengan selamat. Ada satu permintaan lagi dariku, yaitu aku ingin kamu menamakan anak kita dengan nama Mawar Isabella. Aku percaya anak kita dapat tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa dan lemah lembut. Ia harus mengerti betapa pahitnya dunia ini, tetapi Ia harus tetap ceria dan bahagia karena sifatnya harus melambangkan namanya yaitu Mawar. Seperti ibarat bunga mawar, Ia tetap berdiri kokoh meskipun terdapat banyak duri di sekitarnya. Terima kasih sudah menjadi istri yang luar biasa, aku bangga kepadamu, sayang. Aku akan selalu menyayangimu dan juga Mawar." 

Aku membaca surat tersebut dengan bercucuran airmata dan juga Ibu yang turut menjatuhkan airmatanya. Ibu pun segera memelukku dan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Sudah, kamu tidak perlu menangis lagi. Ayahmu tetap terus menyayangimu, Nak. Disini masih ada Ibu disampingmu. Tidak semua takdir yang ditentukan oleh Tuhan itu selalu buruk, Nak. Maka, kamu harus mengikhlaskan kepergian Ayahmu. Ibu tahu pasti berat, tetapi perlahan demi perlahan pasti bisa kok. Kita bisa berdoa bersama untuk mendoakan Ayah agar tenang disana. Kamu harus bangga memiliki seorang Ayah seperti dia, karena tanpa dia, Indonesia tidak akan merdeka dan bangsa Indonesia akan terus dijajah.", kata Ibu sambil menyemangatiku. 

"Sama-sama, Nak", jawab Ibu kepadaku.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun