Mohon tunggu...
Ayu Primadini
Ayu Primadini Mohon Tunggu... -

Freedom, Peace and Prosperity!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Bayi Cerdas Berubah Menjadi Manusia Pasaran

15 Mei 2012   08:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hampir setiap orangtua (ataupun kakek nenek) menganggap bayi atau balita nya cerdas luar biasa. Betapa tidak, tanpa ada yang mengajari si bayi ini bisa tiba tiba tengkurap sendiri, merangkak sendiri, berjalan sendiri, bicara kata-kata yang bisa dimengerti orang lain, dan sejuta kebisaan kebisaan lain yang selalu mengundang decak kagum orang di sekitarnya.

Pun begitu saat mereka memasuki usia balita. Begitu cepat mereka bisa menghafal alphabet atau berhitung. Mereka juga bisa menggambar berbagai hal tanpa pernah diajari. Mereka juga begitu aktif berlari kesana kemari melakukan berbagai hal yang lucu. Pokoknya kicauan bangga tak pernah lepas dari orang dewasa di sekitarnya.

Memang begitulah manusia diciptakan. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara semua makhluknya. Salah satu yang menjadikannya paling sempurna tentu terletak pada benda kecil yang berada di kepala manusia itu. Otak…! Ya, otak yang membuat manusia diciptakan sebagai makhluk pembelajar.

Belajar merupakan naluri alami setiap manusia. Setiap manusia dibekali dengan rasa ingin tahu yang besar yang membuatnya tergerak untuk mengeksplor berbagai hal di sekitarnya. Itulah yang dilakukan para bayi dan balita. Mereka seolah punya pekerjaan rumah besar untuk mengetahui apa saja yang dilihat atau di dengarnya. Tidak ada yang menyuruh. Semua hasil inisiatif mereka sendiri. Kenapa? Karena naluri itu tadi.. sudah menjadi naluri manusia untuk mempelajari apa yang tidak diketahuinya. Tak heran, kenapa bayi dan balita bisa begitu cerdas..

Tetapi biasanya label cerdas itu mulai berkurang saat mulutnya mulai dibungkam untuk bicara. Mereka dipaksa untuk mendengarkan ceramah berjam-jam dan dilabeli nakal jika tidak mendengarkan dengan baik. Mereka dianggap terlalu cerewet jika banyak bertanya. Mereka mulai dibebani dengan puluhan lembar kerja yang harus dijawab pertanyaan-pertanyaannya. Otak mereka dipaksa untuk menghafal puluhan hal untuk mempertahankan label cerdasnya. Waktu mereka habis untuk mengerjakan hal-hal yang dituntut pada mereka tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk mengeksplor keingintahuannya sendiri.

Belum lagi tekanan untuk dapat diterima dengan teman sebaya nya. Untuk bisa masuk ke geng keren misalnya, harus bersepatu merk A, punya tas merk B dan suka sama boysband C. Saat sedang musim Blackberry, maka tak punya Blackberry adalah sesuatu yang kunoo sekali. Kalau musimnya ganti menjadi android, maka handphone pun harus ganti yang android punya..biar nggak ketinggalan jaman.

“eh gaya rambutnya artis xxx kan lagi nge trend, potong rambut kayak gitu yuuk”

“lo udah ke kafe baru di simatupang situ belum? Wiiih, harus kesana deh…asyik bangeet!”

“ih hari gini kok lo masih jomblo aja sih. Pacaran dong kayak kita-kita, biar bisa ada temen jalan kalo malem minggu”

Pada akhirnya, kebanyakan manusia pun lupa sama minat pribadinya. Lupa kalau dulu ia punya pe-er besar untuk mengeksplor alam semesta. Lupa bagaimana caranya belajar berdasarkan caranya sendiri. Tidak lagi tertarik untuk mempelajari hal-hal lain karena terlalu disibukkan dengan keinginan untuk bisa diterima di lingkungannya. Untuk tampak keren, tampak penting, tampak hebat di mata banyak orang. Tapi lupa sama apa yang sebenarnya ingin dicapainya.

Salah satu hal paling menyedihkan di muka bumi adalah ketika anak-anak yang penuh keajaiban dan keluarbiasaan tumbuh besar menjadi orang-orang dewasa yang pasaran dan menjemukan, yang tidak mengacau dunia, tapi juga tidak benar-benar membuat dunia ini tempat yang lebih indah. (Charlotte Mason – seorang tokoh pendidikan dari Inggris; 1842-1923)

Memang tidak semua bayi tumbuh menjadi manusia pasaran.. namun tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan bayi tumbuh menjadi manusia pasaran.

Lantas ini salah siapa? Orangtua? Sekolah? Pemerintah? Sistem?

Ah, sepertinya ini bukan saatnya main salah-salahan.. Mari kita bersama introspeksi diri, tentukan visi, belajar lebih banyak, agar bisa menjadi orangtua yang lebih baik untuk generasi penerus bumi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun