Enam remaja-dua lelaki dan empat perempuan-mendatangi Taman Cerdas Jebres, Solo, Minggu (6/11) pagi. Beberapa di antara mereka hanya melirik sekilas sejumlah wahana permainan yang dipenuhi anak balita. Perpustakaan masih tutup lantaran menunggu tambahan 1.350 eksemplar buku yang akan dilengkapi melalui APBD Perubahan 2016.
Tanpa ragu, anak-anak seusia siswa SMP itu berjalan lurus menuju bagian belakang taman yang berundak dan duduk bersama di rerumputan. Setelah bersiap beberapa saat, mereka sibuk berswafoto. Belum puas berswafoto di bagian belakang taman yang menjadi ikon baru Kota Solo itu, mereka beralih ke sejumlah gazebo di samping taman untuk mendapatkan latar gambar yang lebih menarik.
Tak ada kegiatan diskusi pada Minggu pagi itu. Pendapa di taman dipenuhi remaja lain yang asyik dengan gadget masing-masing. Tak ada buku di tempat itu. Hampir semua remaja sibuk menatap smartphone masing-masing. Sunyi.
Suasana Minggu pagi itu mengingatkan saya pada keprihatinan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, saat Central Connecticut State University merilis hasil studi Most Littered Nation in the World pada Maret 2016 lalu. “Prestasi” Indonesia yang menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei meramaikan headline pemberitaan di hampir semua media (cetak, elektronik, maupun daring) lokal dan nasional.
Kondisi ini memprihatinkan lantaran menurut Anies komponen infrastruktur yang mendukung kegiatan membaca di Indonesia tergolong bagus. Indonesia menempati peringkat ke-34 di atas Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan (Kompas.com, 24/8/2016). Menurut Anies, banyaknya perpustakaan, koleksi buku, maupun perpustakaan keliling tak selalu berbanding lurus dengan tingginya minat baca masyarakat.
Terbitnya aturan membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai (berdasarkan Pendikbud No. 13/2015 tentang Budi Pekerti) merupakan tindakan represif pemerintah dalam mengatasi rendahnya minat baca masyarakat. Butuh regulasi pasti yang menuntut keterlibatan sekolah, orang tua, maupun masyarakat untuk menumbuhkan minat baca generasi muda yang sangat memprihatinkan seperti yang diungkap Mudji Sutrisno dalam bukunya berjudul Oase Estetis terbitan Kanisius 2006 lalu.
Mudji menulis tradisi membaca di Indonesia sangat berbeda dibandingkan tradisi yang sama di negara-negara Eropa, khususnya Perancis. Budaya warga Perancis dibentuk melalui tradisi lisan yang bukan berbasis gosip atau mengobrol melainkan obsesi akan ilmu pengetahuan lewat kegiatan membaca yang diwariskan menjadi sebuah kebiasaan.
Dengan demikian kebiasaan membaca sudah mengakar dan mendarah daging sebelum diterpa gelombang dahsyat budaya elektronik dan televisi yang menempatkan orang-orang menjadi menjadi penonton pasif. Mudji mengkritik televisi sebagai pembungkam daya kreasi dan imajinasi warga melalui sejumlah program yang terkendali hingga mereka menjadi kelompok seragam tanpa kekhasan yang unik.
Perancis telah membuktikan, sambung Mudji, budaya membaca mampu membuat orang menghadapi revolusi televisi dan eletronika. Penyebabnya, ketekunan seseorang dalam mengolah sendiri isi bacaan serta berkonsentrasi ketika merangkum dan berwawasan sendiri (mempertemukan dialog pikiran dengan analisis pikiran) benar-benar teruji. Konsentrasi yang teruji ini menghasilkan wawasan sendiri yang membentuk individualattitude, sikap, dan persepsi sendiri dalam menghadapi kenyataan hidup (hal 10). Mereka tak mudah tergilas dalam budaya televisi maupun Internet yang lekat dengan kehidupan modern.
Gemeinschaft
Sekarang mari bandingkan kondisi itu dengan masyarakat komunal kita yang terbentuk dari budaya guyub (gemeinschaft) dengan ciri khas ikatan yang mendalam dan batiniah. Masyarakat agraris Indonesia terbiasa hidup dalam tradisi lisan yang berbasis konsesi hidup yang sama atau seragam demi kehidupan yang selaras. Komunikasi yang terjalin sehari-hari menjadi pengendali hubungan personal maupun sosial yang bersifat homogen.