Alhamdulillah, Allah memberikan umur kepada saya hingga sampai kembali di 10 Zulhijjah 1433 H. Setelah setahun lalu saya ‘libur’ Sholat ‘Id, tahun ini saya bisa kembali melaksanakan sunnah Rasulullah ini. Seperti biasa, saya melaksanakan sholat di halaman depan Masjid Raya Cinere. Untuk menambah kekhusyuan, saya sengaja meninggalkan telepon pintar saya di rumah. Inilah waktu yang tepat untuk ‘puasa’ twitter-an, ‘puasa’ BBM-an, dan ‘puasa ‘ sms-an…^^
Lihat Mas Hadad Alwi
Sebelum melaksanakan sholat, saya memperhatikan orang yang lalu-lalang bergegas menuju shaf shalat. Di antara orang yang saya perhatikan itu, saya melihat sosok Mas Hadad Alwi, penyanyi asal Solo yang terkenal dengan senandung sholawatnya. Ya, sudah beberapa tahun ini sepertinya beliau tinggal di Cinere. Saya beberapa kali bertemu dengannya di Masjid Raya Cinere. Ketika hendak pulang, saya kembali bertemunya di parkiran motor. Motornya diparkir tak jauh dari motor saya.
Shaf Shalat
Duh, saya agak khawatir. Kata Pak Ustadz, tak sah laki-laki dan perempuan yang sholat dalam satu shaf. Memang sih, shaf laki-laki dan shaf perempuannya tidak bercampur. Namun jaraknya dekat sekali. Coba bapak-bapak dan mas-mas yang sudah ada di shaf depan bisa lebih rapi dan merapat ya supaya ada jarak dengan shaf perempuan. Hmmm, atau malah ibu-ibu dan mbak-mbaknya yang salah karena tidak mau disuruh menempati shaf kosong yang masih ada di dekat serambi masjid? Wallahu a’lam. Semoga Allah tetap menerima sholat kami, walaupun pelaksanaannya jauh dari sempurna.
Khatib yang Menyentuh
Setelah sholat, waktunya khatib berkhutbah. Imam pun berseru,”Anshituu wasma’uu…!”, yang artinya diam, hentikan aktivitas, dan dengarkan! Sayang sekali, di saat khatib berkhutbah, masih ada sebagian jama’ah yang memilih untuk meninggalkan shaf…
Khatibnya bukan ustadz terkenal namun apa yang disampaikan sangat menyentuh. Di pembukaan khutbah, khatib mengajak jama’ah untuk merenungi kebesaran Allah SWT.”Seluruh alam raya ini bertasbih kepada Allah…”, kata khatib yang kata-katanya indah karena ia menggunakan banyak perumpamaan dan rima ini.
Khatib mengawali khutbah pertamanya dengan menceritakan sosok Nabi Ibrahim, seorang yang sepenuhnya memegang teguh Tauhidullah sehingga ia rela mengorbankan apa yang dimilikinya.”Begitulah seharusnya kita, meneguhkan tauhid dalam ‘akidah, ‘ibadah, dan mu’ammalah kita,” seru sang khatib dengan lantang.
Khatib juga mengajak para jama’ah untuk mengambil pelajaran dari ibadah kurban. Ternyata ada dimensi spiritual, dimensi sosial, dan dimensi moral dalam ibadah kurban. Secara spiritual, ibadah kurban adalah bukti ketaatan sepenuhnya kepada Allah. Secara sosial, ibadah kurban adalah sarana berbagi pada kaum yang tak berpunya. Secara moral, ibadah kurban seharusnya dapat ‘menyembelih’ sifat-sifat kebinatangan yang ada pada manusia. Khatib mengutip pendapat Prof. Quraish Shihab tentang empat sifat binatang yang harus ‘disembelih’ oleh manusia, yaitu sifat serigala yang melambangkan kediktatoran, sifat tikus yang melambangkan kerakusan, sifat anjing yang melambangkan kelicikan, dan sifat domba yang melambangkan ‘penghambaan’ pada sesuatu selain Allah.
Ketika khatib melantukan talbiyah, “Labbaik Allahumma labbaik…”, suaranya tercekat, seperti hampir menangis. Ketika berdoa juga seperti itu. Siapa yang tak tersentuh?
Ada sebuah do’anya yang sungguh berkesan ketika dilantunkan di khutbah kedua,”Ya Allah, jangan Engkau cabut nyawa kami sebelum kami sampai ke Baitullah! Jika tak bisa (kami sampai ke sana), maka gantikanlah dengan surgaMu…”
Selamat Idul ‘Adha 1433 H
Taqaballahhu minna wa minkum
Kullu ‘aamin wa antum bi khairin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H