"Sudah berapa lama ngojeknya?"
Itu pertanyaan pembuka yang biasa saya ajukan ketika menumpang ojek daring. Dari pertanyaan itu, obrolan demi obrolan mengalir. Sebagai penumpang, saya banyak belajar dari mereka, termasuk belajar untuk lebih bersyukur terhadap kondisi saya saat ini.
Senin lalu, tepatnya tanggal 19 Juni, menjadi hari yang tak terlupakan buat saya. Ketika harus menempuh perjalanan pulang pergi Cinere-Ragunan-Cinere, saya mendapatkan 'sepasang' pengemudi ojek daring. Ketika pergi, saya disupiri oleh seorang akang yang asalnya dari Tasikmalaya. Dan ketika pulang, saya disupiri oleh seorang mbak yang tinggal di Ciputat. Bagaimana hasil obrolan saya dengan mereka? Yuk, kita simak bersama.
Ngobrol dengan Akang dari Tasikmalaya
Akang ini ternyata tinggal tidak terlalu jauh dari rumah saya. Sebelum menjadi pengemudi objek daring, dia sempat membuka usaha sendiri, berjualan buah-buahan. Namun, usahanya itu harus gulung tikar karena kehabisan modal. Sebelum berjualan buah-buahan, dia juga sempat berjualan motor bersama saudaranya. Naas, dia belum sempat menikmati uang hasil penjualan motor. Uangnya dibawa kabur oleh saudaranya saat dia tidak ada di kontrakan. Jumlahnya lumayan besar, tujuh juta rupiah. Awalnya dia merasa sangat kesal namun perlahan-lahan dia mulai merelakan uang itu. "Iya, Kang. Semoga nanti bisa diganti dengan yang lebih baik," ujar saya untuk membesarkan hatinya.
Setelah Akang itu bercerita panjang lebar tentang berbagai usahanya itu, saya kemudian bertanya tentang tingkat pendidikannya.
"Maaf, Akang terakhir sekolahnya apa?" tanya saya pelan-pelan.
"SMK jurusan tata busana. Tapi, ya namanya sekolah di kampung dan baru berdiri, sampai sekarang ijazahnya nggak keluar."
"Udah coba diurus?"
"Udah. tapi dari 2012 sampai sekarang belum keluar-keluar juga."
"Oh, ya udah. Akang coba aja ambil paket C supaya bisa punya ijazah."