Tepat pada 17 Agustus 2024, Indonesia merayakan hari kebebasan sebagai sebuah bangsa dan negara yang ke-79. Di seluruh antero negeri, rakyat antusias memeriahkannya. Bahkan di beberapa tempat, sejak bulan Juni sudah ada kegiatan membersihkan desa atau kampung, mengecat pagar, dinding, hingga menghias area tempat tinggal. Semangat dan kegembiraan menyambut hari merdeka bangsa ini masih menyala!
Hingga masuk bulan Agustus, berbagai lomba yang sengaja diadakan untuk mengenang hari paling istimewa buat NKRI makin terasa. Di sosial media pun bergantian semua ingin mengunggah semaraknya peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Semua elemen masyarakat dengan bebas dan terbuka dapat melakukan beragam aksi dan atraksi agar HUT RI ke-79 lebih meriah dibanding tahun sebelumnya.
Sayangnya, di tengah kesibukan yang menggembiarakan semua lapisan masyarakat tersebut, tidak sejalan dengan situasi panas politik bangsa ini. Perhelatan pemilihan wakil rakyat di daerah makin terasa, karena waktu pelaksanaan makin mendekat. Berbagai trik, intrik, strategi, dan manuver dilakukan partai-partai politik untuk mengamankan pergerakan kelompoknya, agar tetap bertahan atau mendapat tempat di posisi apik di pemerintahan.
Tidak bisa dipungkiri, telah terjadi bukan satu kali, tindak keculasan pemimpin bangsa ini agar kelompok tertentu dapat tetap berada di posisi puncak dan memegang kekuasaan. Ketegangan itu terjadi kala pemilihan presiden berlangsung di awal tahun 2024, bahkan dimulai menjelang akhir tahun 2023 yang lalu.Â
Para akademisi dan mereka yang paham hukum negara tidak lelah berteriak, memberi pesan, dan menyerukan adanya ketidakbenaran, pembelokan atas hukum negara demi tujuan tertentu dari pemerintah. Tidak mau zoudson, bisa jadi tujuan itu bukan hal yang buruk, tetapi langkah miring yang ditempuh jelas membuat para cendekiawan hukum daalm berkebangsaan ini gelisah. Mereka dari berbagai lapisan mulai bersuara.
Namun, teriakan hati mereka yang ingin bangsa ini ada dalam jejak yang benar dan lurus, tidak dihiraukan. Apa yang mereka serukan dianggap angin lalu. Meski begitu, usai pemilihan presiden, situasi mulai mereda, sekalipun riak-riak geram masih tersisa. Tentu saja, harapan bahwa kejadian serupa tidak terulang itu tetap ada. Mereka masih meyakini, ada hati nurani yang akan berbisik dan berbicara, agar tatanan negara ini tidak terus diobrak-abrik.
Kegelisahan yang perlahan pudar itu kembali dipercik. Sebuah keputusan yang baik dari Mahkamah Konstitusi sehubungan dengan pemilihan kepala daerah yang seyogyanya akan segera dilakukan bukan disambut baik, sebaliknya mulai diotak-atik.Â
Segera tagar Gambar Burung Garuda dengan lima sila di dalamnya berwarna biru dengan tulisan tegas 'Peringatan Darurat' dengan sangat cepat menggema di seluruh persada!
Rakyat bangkit. Mereka merasa haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negeri bergelar negara demokrasi dilempar dan dinjak begitu saja. Rakyat marah. Mereka tidak dianggap dan dinilai tidak penting oleh para elite politik yang merasa punya kekuasaan dan kewenangan atas bangsa ini. Dalam sekian jam, keputusan Mahkamah Konstutisi segera diubah dalam rapat yang mendadak dibuka di senayan.Â
Hanya sekian jam, sementara banyak undang-undang lain yang jauh lebih perlu bagi kesejahteraan rakyat sudah bertahun-tahn dinanti tidak juga kelar dan menemukan hasil yang tepat.