Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian integral dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk interaksi. Dalam beberapa sumber, penggunaan TIK didefinisikan sebagai aplikasi pengetahuan yang digunakan manusia dalam menyampaikan informasi atau pesan yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan permasalahan supaya tercapai tujuan dari komunikasi.
Penggunaan TIK dalam interaksi masyarakat memiliki beberapa manfaat, seperti meningkatkan kemampuan komunikasi, media efektif penyampaian pesan, dan meningkatkan interaksi sosial yang lebih luas dan cepat. Selain itu, penggunaan TIK juga dapat membantu menjadi media hiburan bagi masyarakat. Di samping manfaatnya untuk interaksi, TIK banyak menyediakan platform media sosial yang bisa diakses masyarakat untuk tampil eksis dan menarik.
Tak jarang media sosial sering dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan live streaming. Tujuannya beragam seperti ingin terkenal banyak orang atau hanya sekadar menunjukkan aktivitas kesehariannya. Namun, banyak sekali kontroversi yang timbul dengan media live streaming ini, salah satunya fenomena pengemis online.
Fenomena pengemis online adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang untuk mendapatkan hadiah atau uang secara online melalui platform media sosial seperti TikTok. Kegiatan ini meliputi berbagai tindakan seperti mandi lumpur, berendam di air kotor, dan mengguyurkan diri dengan air dingin selama berjam-jam.
Kontroversi live media sosial untuk mengemis menjadi fenomena yang menarik perhatian masyarakat dan pemerintah. Fenomena ini dianggap sebagai contoh kemunduran atau krisis sosial yang terjadi akibat efek samping perkembangan cepat teknologi informasi. Maraknya tayangan konten secara live streaming yang mengeksploitasi orang tua, anak-anak, dan kelompok disabilitas untuk mengemis, serta konten-konten yang membahayakan kesehatan bagi pemerannya, mencetuskan budaya malas yang mengharapkan belas kasihan orang lain layaknya pengemis.
Fenomena ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti minimnya tingkat ekonomi kreator dan pemeran konten, serta kemiskinan yang dialami oleh beberapa individu. Tidak menutup kemungkinan mereka juga melakukannya dengan sengaja untuk mendapatkan uang tanpa perlu bekerja keras.
Fenomena pengemis online juga dianggap sebagai contoh bagaimana teknologi informasi dapat digunakan secara kreatif oleh orang-orang tertentu untuk mendapat penghasilan. Dalam hal ini, orang-orang yang merelakan dirinya untuk dikasihani atau mengemis. Mereka memanfaatkan tingginya tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia.
Fenomena pengemis online memiliki dampak yang cukup signifikan pada masyarakat. Di satu sisi, fenomena ini memudahkan orang-orang yang ingin memberikan donasi dalam bentuk uang atau barang secara cepat dan mudah melalui platform online. Namun, di sisi lain, fenomena pengemis online juga memiliki dampak negatif seperti menyebabkan tindakan penipuan, penggunaan uang yang tidak sesuai dengan tujuan aslinya, dan keterlibatan anak muda dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial.
Pakar digital Anthony Leong menyarankan agar fenomena ini segera dihentikan dengan menghentikan kontribusi dari para pengguna media sosial dan tidak memberikan perhatian kepada mereka yang melakukan mengemis online. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengatakan bahwa fenomena ini berpotensi menimbulkan masalah baru dan seharusnya platform media sosial memberikan aturan yang lebih ketat terhadap kontennya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H