Secara bahasa, kata patehan berasal dari bahasa Jawa yang artinya teh atau penyedia teh. Secara istilah, Patehan merujuk pada tradisi menyajikan unjukan atau minuman kepada Sultan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak Keraton Yogyakarta berdiri. Tak sembarang orang bisa berpartisipasi dalam tradisi patehan ini, karena ada peraturan dan tata cara tersendiri. Prosesi Patehan dilakukan oleh lima orang abdi dalem wanita yang disebut keparak.
Patehan
dalem
Para keparak akan membawa perabot minuman dari dalam keraton menuju Gedhong Patehan. Sesampainya di Gedhong Patehan, mereka menunggu para reso (abdi dalem yang bertugas menjaga Gedhong Patehan dan membuat minuman untuk Sultan) menyiapkan minuman yang akan mereka bawa. Setelah semua minuman siap, mereka berjalan berurutan sesuai dengan jabatannya.
Keparak pada barisan paling depan disebut songsong, yang bertugas memayungi keparak yang membawa klemuk atau kendi. Keparak klemuk bertugas membawa klemuk yang terbuat dari tembaga sebagai tempat air. Air tersebut diambil dari sumur keramat yang ada di Gedhong Patehan. Jabatan yang dimiliki oleh Keparak Klemuk ini yang paling tinggi di antara keempat keparak lainnya. Di belakang keparak klemuk, ada keparak yang bertugas membawa nampan berisi dua teko teh yang ditutupi kain putih, yang disebut sebintang. Pada barisan keempat, ada keparak yang bertugas membawa dua teko yang berisi kopi yang juga ditutupi dengan kain putih. Dan, keparak di barisan terakhir bertugas membawa ceret yang berisi air panas.
Tradisi patehan ini dilakukan setiap hari pada jam 06.00 dan 11.00. Selain sebagai tempat melaksanakan tradisi patehan, Gedhong Patehan juga menyimpan koleksi perabot minum milik keraton, seperti teko, gelas, cangkir, dan lain-lain.
cangkir
Setiap mengantar teman dari luar kota yang ingin berkunjung ke Keraton Yogyakarta, saya selalu mengajak mereka untuk berkunjung pada jam-jam ketika para reso dan keparak menyiapkan teh. Begitu juga ketika saya mengantar teman dari Padang. Kami tiba di kompleks keraton sekitar jam 10.00, bertepatan dengan dimulainya pagelaran wayang kulit di Bangsal Sri Manganti. Menjelang jam 11.00, saya mengajaknya ke Gedhong Patehan. Di sana, para reso sedang merebus air. Saat para reso menyiapkan teh, tampak jelas bahwa mereka begitu menghormati Sultan, bahkan hingga teko berisi teh dan kopi yang digunakan oleh Sultan diperlakukan dengan hormat. Setelah teko diletakkan di meja, mereka menangkupkan tangan sebagai tanda hormat.
teh