"Apa kenangan paling berkesan di masa kecil bersama bapak?"
Pertanyaan ini cukup sulit saya jawab. Pasalnya, saat saya kecil, Bapak sering kali merantau ke luar Jawa. Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumba, sudah dijelajahi.Â
Tahun 90an, komunikasi tentu belum semudah sekarang. Sehingga saat itu, saya kurang merasakan hadirnya seorang bapak. Meski saya tahu, Bapak melakukannya demi kami, anak-anaknya.Â
Lalu saya tumbuh menjadi anak yang tak cukup dekat dengan bapaknya. Hubungan kami baik-baik saja, namun tak bisa dibilang mesra.
Saat menonton Keluarga Cemara, pertanyaan itu kembali mengetuk-ngetuk pikiran saya. Konflik di film ini sebenarnya cukup sederhana, tetapi dekat dengan kehidupan banyak orang pada umumnya, termasuk saya.Â
Keluarga Cemara, terdiri dari Abah, Emak, Euis, dan Cemara---jangan tanya Agil di mana. Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja sebagai keluarga kecil yang tergolong kaya di ibu kota. Namun, kehidupan mereka berubah drastis sejak perusahaan Abah bangkrut karena kasus penipuan. Rumah mereka disita.
Satu-satunya jalan keluar adalah kembali ke kampung halaman Abah di Bogor. Menempati rumah tua sederhana peninggalan orang tua Abah, yang jauh berbeda dengan rumah mereka di Jakarta.Â
Lalu, satu per satu konflik mulai muncul. Sebagai kepala keluarga, Abah berusaha mencari pekerjaan, meski tidak mudah. Ketika pekerjaan didapat, masalah lain justru muncul dan semakin memperburuk keadaan.Â
Sementara itu, kondisi ekonomi yang terpuruk memaksa Euis sebagai anak sulung untuk mengalah dengan hanya sekolah di SMP biasa, bukan SMP favorit. Ditambah, Euis harus membuang gengsi dengan berjualan opak. Emak pun tak lepas dari konflik yang semakin membuat film ini penuh warna.
Sedangkan sosok Cemara di film ini begitu mencuri perhatian dengan keluguan, kelucuan, serta kepolosannya. Celoteh-celotehnya mencairkan suasana, mengundang tawa, dan menggemaskan. Namun di sisi lain, karakternya yang keras kepala juga turut mempertajam konflik.
Dalam fim ini, konflik-konflik terjalin dengan rapi, saling berkaitan, dan tidak tumpang tindih. Alurnya tidak monoton, apalagi diselingi adegan-adegan lucu, menghasilkan tontonan yang tidak hanya mengharukan, tetapi juga menghibur. Kehadiran Asri Welas sebagai Ceu Salmah tak kalah jadi perhatian. Hampir semua scene yang menampilkan dirinya mampu mengundang tawa.