Jutaan tahun lalu, manusia menjalani hidup dengan menggantungkan hidupnya kepada alam. Hidup berburu dan meramu untuk mendapatkan makanan, hidup secara nomaden untuk bertahan hidup, melindungi diri dari fluktuasi cuaca, bencana alam, hingga perubahan iklim yang kritis, serta membuat perkakas dari bebatuan untuk menunjang aktivitas kehidupannya. Namun, beberapa juta tahun kemudian, evolusi dan seleksi alam telah membuat suatu perubahan yang sangat evolusioner, volume otak manusia berkembang pesat, mahluk – mahluk hidup telah diadaptasikan untuk bisa bertahan hidup dengan lingkungan barunya.
Seiring dengan perkembangan otak manusia, Ilmu Pengetahuan berkembang pesat sebagai hasil dari proses manusia berfikir dan mencari jalan keluar atas permasalahan yang mereka hadapi. Hingga sampailah akhirnya manusia pada era millennium, globalisasi dengan segala kemudahan yang ditawarkannya telah menjadi magnet bagi setiap orang untuk bergabung menjadi bagian dari manusia generasi baru. Globalisasi dengan segala propaganda dan janji kenikmatan yang menggiurkan telah merasuk kedalam hampir setiap sendi – sendi kehidupan, dan merubah paradigma sebagian besar masyarakat dunia. Perkembangan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi telah membuat manusia dapat mengakses dan melihat dunia hanya dalam genggaman tangan.
Aku, telah menjadi bagian dari manusia generasi baru, menikmati kehidupan dengan segala kemudahan. Memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus mencari dan mengambil sendiri dari alam, menikmati hasil aplikasi ilmu pengetahuan, dan aku bisa mengunjungi berbagai tempat hanya dengan satu sentuhan tangan. Aku bebas berpetualang ke seluruh dunia dalam dunia virtual.
Memasuki usia 17, banyak tantangan dan ancaman yang bisa saja merusak hidupku. Usia 17 dengan kondisi psikologis labil, emosi yang meledak – ledak, sedang dalam proses mencari pembenaran dan pencarian jati diri sangat rentan menjadi korban dampak negatif perkembangan zaman. Arus informasi yang semakin mengikis identitas bangsa, suku, dan agama telah banyak membuat remaja seusiaku terperosok dalam permasalahan moral, dan penyimpangan norma – norma sosial seperti pergaulan bebas, dan gaya hidup yang mengikuti kaum Kapitalis dan Sekuler.
Menurutku, usia 17 adalah usia dimana seseorang dituntut untuk menyeimbangan IQ, EQ, dan SQ, disamping mempertajam kecerdasan personal. Selain itu, usia 17 adalah masa pengambilan keputusan, menentukan akan jadi orang seperti apakah kita di masa depan, apakah akan menjadi orang gagal, biasa – biasa saja, ataukah mampu menjadi seseorang yang sukses. Secara alami, manusia telah dipersiapkan dan dibentuk untuk bisa beradaptasi dengan perubahan, entah itu perubahan negatif ataupun perubahan positif yang pada akhirnya kembali kepada orang tersebut, apakah dia mampu bertahan dalam lingkungan negatif dan keluar sebagai pemenang dalam image positif ataukah malah menjadi bagian dari orang – orang gagal dengan image negatif.
Globalisasi telah menjelma menjadi sebuah fantasi, bagaikan dua bilah mata pisau, di satu sisi globalisasi telah banyak membantu manusia untuk dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Namun di sisi lain, globalisasi juga merupakan sebuah alat pemusnah masal dengan banyak dampak negatif nya.
Semua hal tersebut adalah sesuatu yang tak dapat aku hidari. Namun, aku berkeyakinan bahwa dalam peperangan mempertahankan ideologi ini, aku mampu keluar sebagai pemenang dalam image positif, karena aku miliki keluarga. Salah satu faktor terpenting yang menentukan kesuksesan seseorang selain kemauan dan kerja keras dari dirinya sendiri.
Keluargaku menjadi pengingat dan pemerhati nomor satu ketika aku telah bertindak terlalu jauh. Laksana oasis ditengah padang pasir, keluarga adalah satu – satu nya tempat yang mampu menyuguhkan kedamaian dan kesegaran ketika kehidupan telah memeras habis energi, dengan hanya menyisakan lelah dan keinginan untuk menyerah. Keluarga adalah tempat yang akan selalu menerima kembali dalam keadaan apapun. Keluargaku menjadi alasan terbesar untuk aku tetap bertahan ditengah sesak ditempa cobaan hidup. Jika dianalogikan menjadi suatu lembaga atau institusi, maka keluargaku adalah institusi atau lembaga yang paling demokratis, benar – benar menerapkan sistem demokrasi tanpa bias kabur dengan pengaruh perorangan dan kepentingan pribadi. Hidup sederhana, merasa cukup, tidak pantang menyerah, ulet, dan konsisten adalah bebarapa prinsip hidup penting yang mereka tanamkan. Keluargaku adalah sistem kekebalan tubuh serba bisa kedua, mereka akan menjadi antibodi, makrofag, basofil, eosinofil, sel T, atau menjadi agen pembunuh antigen apapun yang menyerang tubuhku.
Terlepas dari tantangan dan ancaman yang siap memporakporandakan hidupku, aku berharap bahwa dimasa depan aku mampu menjadi seorang yang sukses. Tak akan kubiarkan oranglain mengintervensi dan mensutradarai skenario hidupku. Aku berharap aku bisa menjadi seorang yang mampu bersaing dalam dunia global tanpa harus kehilangan identitas. Seorang yang memberikan sumbangsih dan kontribusi besar untuk peradaban manusia. Bersama harapan, ku keramatkan cita – cita ku, aku ingin menjadi seorang dokter spesialis jantung yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyembuhkan pasien, seorang dokter yang memiliki kredibilitas mumpuni. Prinsipku, jangan pernah menjadikan takdir sebagai alibi atas ketidakmampuan kita mencapai apa yang dicita – cita kan. Tuhan tidak pernah menghalangi hambanya untuk menjadi orang sukses. Tingkat keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa lama ia belajar, tapi kesuksesan ditentukan oleh besar usaha yang ia lakukan untuk mewujudkan mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H