Ada sebuah kisah tentang seorang pemimpin yang bertubuh kecil bernama Talut. Talut awalnya bukanlah orang yang digadang masyarakatnya dikarenakan bukan dari trah keturunan yang mereka anggap layak untuk memimpin mereka. Terlebih lagi, masyarakat tengah menghadapi seorang yang besar baik kekuatan dan kekuasaannya yakni Jalut. Semakin lengkaplah kekurangyakinan masyarakat akan kemampuan Talut dalam memimpin mereka terlebih mengalahkan Jalut, sang penguasa.
Ibarat kisah tersebut, Yusril dan Saefullah berdiri menghadang sang petahana, kekuasaannya, dan hadangan lain jelang Pilkada DKI Jakarta. Yusril dan Saefullah sebagai pasangan cagub dan cawagub bukanlah orang tenar yang mentereng nama dan popularitasnya setinggi rating yang diraih sang petahana, Ahok. Yusril dan Saefullah juga tidak diback up oleh partai 'penggedhe' tanah air seperti PDIP, Golkar, PKS atau yang lain. Ibarat Talut, Yusri dan Saefullah mungkin diremehkan oleh banyak pihak. Melawan sang petahana ibarat merubuhkan Jalut yang berstatuskan adigang, adigung, adiguna.
Ada yang menyasar pada sosok Yusril kekurangcakapannya dalam dunia politik, atau malah soal 'gosip' kehidupan pribadinya. Ada pula yang menembak Saefullah sebagai lawan yang jauh di bawah sang petahana. Ia hanyalah seorang PNS Sekda yang tidak dipandang layak untuk memimpin DKI. Tak sedikit pula kini semakin kuat serangan sang petahana terhadap bawahannya ini, Saefullah, jelang pendaftaran resmi bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Mulai dari menduganya terlibat kasus reklamasi, korupsi, hingga memukul Saefullah lewat Bawaslu.
Ibarat Talut melawan Jalut, seperti itulah hampir kenampakan pertarungan dua pihak ini, Yusril-Saefullah dan Ahok bersama siapapun pasangannya. Ahok sudah di atas angin dengan pasukannya yang banyak baik pasukan pendukung secara modal, kekuasaan hingga pasukan teknis medianya. Sementara pasukan Yusril-Saefullah mungkin tidak se-'wah' pasukan sang petahana dari segi modal ataupun back up pengusaha dan penguasanya. Namun demikian, bukan berarti kans Yusril-Saefullah menjadi sempit karenanya.
Kekuatan Yusril dan Saefullah sejatinya ada pada masyarakat DKI itu sendiri. Kekuatan itu adalah kekuatan untuk memilih pemimpin yang baru nagi Jakarta Baru yang santun dan beradab. Di samping modal politik dan kekuasaan penting, modal pilihan dan kepercayaan masyarakat jauh lebih penting. Masyarakat DKI membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Masyarakat DKI sudah jengah dengan pemimpin yang menggusur bukan hanya rumahnya namun haknya di tanah sendiri. Masyarakat berhak atas pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang mengasihi dan memberikan teladan.
Meski nampak sulit, meski banyak yang meremehkan, sudah saatnya Jakarta memilih pemimpin yang merakyat tanpa basa-basi, tegas tanpa mencederai, santun tetap menuntun. Saatnya Jakarta memilih Yusril dan Saefullah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H