Peristiwa Westerling merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Terjadi pada akhir tahun 1946 hingga awal 1947, pembantaian ini dilakukan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan. Dengan dalih operasi militer untuk menumpas gerakan separatis dan memulihkan ketertiban, Westerling memimpin pasukannya dalam serangkaian aksi brutal yang menewaskan puluhan ribu rakyat tak bersalah.
Latar belakang peristiwa ini bermula setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah Hindia Belanda, melancarkan Agresi Militer pertama pada tahun 1947. Sebelum itu, Westerling yang memimpin Depot Speciale Troepen (DST) atau Pasukan Khusus Depot, melancarkan operasi pembersihan di Sulawesi Selatan untuk menghentikan perlawanan rakyat yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Metode yang digunakan oleh Westerling sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Ia menerapkan sistem yang dikenal sebagai "westerling", di mana seluruh penduduk desa dikumpulkan dan diseleksi secara acak. Mereka yang dicurigai sebagai pemberontak atau mendukung gerakan kemerdekaan dieksekusi di tempat tanpa melalui proses hukum. Tidak hanya pria dewasa, tetapi juga anak-anak dan perempuan menjadi korban keganasan Westerling dan pasukannya.
Pembantaian Westerling menyebabkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Diperkirakan sekitar 40.000 orang tewas dalam aksi brutal ini. Kekejaman yang dilakukan oleh Westerling menyebarkan teror dan ketakutan di seluruh wilayah, membuat masyarakat hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan ketakutan akan serangan berikutnya. Banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarga mereka dan harta benda yang hancur akibat aksi ini.
Meskipun tindakan Westerling menuai kecaman dari berbagai pihak, baik di Indonesia maupun internasional, pemerintah Belanda pada saat itu tidak mengambil tindakan tegas terhadapnya. Bahkan, Westerling tidak pernah diadili atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya. Sebaliknya, ia diberi perlindungan dan akhirnya kembali ke Belanda dengan aman. Hal ini menambah luka dan rasa ketidakadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang sampai saat ini masih mencari keadilan.
Seiring berjalannya waktu, peristiwa Westerling semakin dilupakan, baik oleh masyarakat Indonesia maupun dunia internasional. Namun, upaya untuk mengungkap kebenaran dan mencari keadilan terus dilakukan oleh para sejarawan, aktivis hak asasi manusia, dan keluarga korban. Mereka berusaha menggali kembali fakta-fakta sejarah dan memberikan kesadaran kepada generasi muda tentang betapa pentingnya mengenang dan belajar dari peristiwa kelam ini.
Pembantaian Westerling menjadi pengingat akan kekejaman penjajahan dan perjuangan panjang rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Dalam konteks sejarah Indonesia, peristiwa ini menegaskan betapa besar pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai kebebasan dan kedaulatan. Di Sulawesi Selatan, kisah ini diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dari sejarah lokal yang tidak boleh dilupakan.
Pentingnya mengenang peristiwa Westerling bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban, tetapi juga sebagai pembelajaran bagi generasi masa kini dan mendatang. Dengan memahami sejarah yang kelam ini, diharapkan kita dapat mencegah terulangnya kekejaman serupa di masa depan dan terus berjuang untuk keadilan dan perdamaian. Pembantaian Westerling adalah lembar kelam dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia yang harus diingat dan diakui agar tidak terulang di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H