Sudah setahun atau lebih sejak terakhir kali aku menuliskan apa yang ada di hatiku dalam bait-bait kata tak menentu seperti ini. Ku pikir aku sudah lebih baik dan sembuh, namun ternyata walaupun luka-luka itu sudah mulai mengering dan menghilang, nyatanya bekasnya tak pernah sirna. Aku terus-menerus merenung, akan hal-hal yang telah terjadi padaku dan membuatku seperti aku yang sekarang. Segala hal buruk dan baik, semuanya ku syukuri dan berusaha ku petik hikmahnya hari demi hari.
Namun ada beberapa hari dimana aku kembali ke titik itu, ke titik nol ketika semua hal terasa buram dan gelap. Kembali menyusuri terowongan gelap itu seorang diri ketika aku sudah merasa bahwa cahayanya ada di depan mataku. Mungkin aku terlalu naif atau bodoh, apapun sebutannya untuk orang yang terlampau terlena dengan imaji-imaji yang ia karang dalam bayangannya, namun selalu tak pernah selaras dengan realita yang ada.
Sampailah aku ke titik dimana semua perasaanku membebaniku. Semua trauma dari masa lalu yang sudah terlalu lama ku kubur, kembali ke permukaan. Semua rasa sakit itu, pengkhianatan mereka, pengabaian mereka yang meninggalkanku seorang diri-- tak peduli seberapa keras aku telah berusaha untuk membuat mereka tetap tinggal, hal-hal itu perlahan merenggutku.
Aku terus menerus merasa seperti aku tidak layak dicintai oleh siapapun. Seperti aku tidak berhak untuk bahagia-- karena kapanpun aku merasa bahagia, seketika nestapa dan kesedihan selalu datang. Seperti langit gelap yang membayangi dan menutupi matahari, seperti terowongan gelap dan lembab yang membuatku radang paru-paru; hal-hal itu menyesakkan.
Aku mulai mempertanyakan arti dari semua hal. Sebenarnya apa itu cinta? Dan mengapa kita sangat bersusah payah berusaha mendapatkannya. Untuk apa sebenarnya cinta, kalau pada akhirnya hanya mendatangkan nestapa tak berkesudahan. Untuk apa mencinta sebegitu besar dan memberikan seluruh hatiku pada orang-orang dan hal-hal; mempercayakan itu semua pada mereka ketika aku tahu pada akhirnya hanya akan dihancurkan? Lebur tak bersisa.
Benci. Perasaan yang tak seharusnya datang ini justru kembali merenggut jiwaku. Kembali memenuhi jiwaku yang kosong-- yang ku kira setidaknya selama setahun kebelakang sudah lebih baik, sudah lebih sembuh. Ternyata pada akhirnya ku sadari bahwa itu hanyalah sebuah ilusi dan angan-angan, tak lebih dari sekedar ekspektasiku sendiri yang kutanamkan pada orang-orang. Salahku karena lagi-lagi terlalu percaya, naifku karena berpikir bahwa mereka yang mengaku "mencintaku" tidak akan menyakitiku. Justru sakit hatiku terdalam datangnya dari mereka yang mengaku mencintaiku tapi dengan amat tega dan jahatnya, mampu melukai bahkan membunuh jiwaku perlahan.
Kali ini ku dapati diriku kembali terduduk sendiri dan bercengkrama dengan pikiran-pikiran liar itu. Berusaha untuk kembali menyusun keping demi keping diriku yang telah mereka hancurkan tak bersisa; dan tanpa perasaan itu. Berusaha untuk mencari secercah harapan dan cahaya dari terowongan gelap tak berkesudahan itu. Berusaha untuk mencerna kenapa hal-hal ini selalu terjadi padaku. Berusaha untuk tetap waras dan positif dalam melihat berbagai peristiwa dalam hidup; walau tentu saja itu merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan setelah aku dihantam bertubi-tubi cobaan yang datangnya dari tiap sisi dalam hidupku.
Sampai pada satu titik dan masa aku lelah. Lelah untuk berusaha mengurai hal-hal yang tak bisa diurai. Lelah berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah dianggap penting oleh mereka. Lelah menjadi baik-baik saja ketika di dalam aku hancur berantakan. Mungkinkah hal-hal ini, dunia dan seisinya akan sirna dalam sekejap kedipan mata?
Aku harap dunia ini cepat berakhir, agar aku pun dapat berpulang dengan damai. Agar tak satupun orang perlu merasakan hal-hal yang kurasakan, agar semuanya lenyap tak bersisa, dan kembali ke asalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H