[caption id="attachment_162664" align="aligncenter" width="300" caption="Rainy Outside | Ayu Kusumaningrum"][/caption]
“Katanya kamu udah ada di kota ini hampir sebulan, ya? Kenapa nggak ngabarin? Aku kan bisa anter kamu kemana aja! Kamu nggak perlu nyasar-nyasar...” Nada posesif itu tetiba keluar lagi dari mulutku. Khawatir rasanya. Rindu rasanya.
“Aku bisa sendirian kok. No worries.” Suara beratnya. Nada bicara yang mantap. Keputusan yang bulat. Aliran enerji yang meluap-luap yang membuatku gemetaran.
Sudah hampir lima tahun lalu, masih saja kau tak mau menengok ke arahku. Ah, Ning. Aku memang tak termaafkan, ya?
***
“Kamu selingkuh.”
Pernyataan, bukan pertanyaan. Hanya dua kata itu yang terucap dari bibirnya selama tiga jam terdiam. Tak ada adegan tangis pun drama pemaksaan atas penjelasan. Ia terlihat tenang. Setenang langit sore yang berwarna kelabu saat ini. Ia tersenyum. Manis sekali. Tapi bukan itu senyum yang kumau. Bukan senyum manis yang selemah itu. Bukan senyum yang menggodaku untuk memeluknya kuat-kuat. Merengkuhnya dalam agar tak ada lagi seseorang yang menyakitinya. Tapi bisa apa aku? Mungkin orang yang paling membuatnya sakit saat ini adalah aku. Bukan ‘mungkin’, tapi memang sudah pasti aku.
Aku mungkin salah. Tapi kamu juga belum tentu benar. Dia juga belum tentu salah. Sialnya, kamu tidak menyalahkan keadaan. Kamu malah menyilakan aku mempermudah jalan. Melepaskan aku, itu maumu. Dan sungguh, terlepas darimu adalah ambisiku. Ini saatnya untuk saling melepaskan. Tak ada lagi kita. Hanya aku. Hanya kamu. Tak ada lagi lagu kita. Hanya laguku. Lalu lagumu.
Aku tak lagi tersesat di dalamnya. Aku telah bebas dari jeruji titaniumnya. Sudah terlalu lama. Sudah terlalu lama, Sayang. Lepaskan aku. Aku mendorong pelan gelas berisi penuh macchiato yang belum tersentuh. Menghela napas panjang. Lalu beranjak ku luar ruangan. Damaikah kamu tanpaku, nanti? Kedinginankah kamu tanpa pelukanku nanti? Siapa yang akan menepuk-nepuk kepalamu ketika ada petir nanti? Siapa lagi yang akan menemanimu dengan canda di tengah malam sampai pagi? Siapa yang akan memberikanmu untaian nada-nada spesial saat kamu cemberut nanti? Bisakah kamu tanpa ku di sampingmu lagi? Jawablah semua itu dengan matamu. Sekarang.
Aku menatapnya sekali lagi. Memastikan apa yang ku lakukan akan menjadi benar nantinya. Ia balas menatapku. Bukan tatapan yang itu. Yang ini kosong. Terlalu melompong. Aku seketika kedinginan. Terima kasih. Aku selalu suka indera penglihatan ini tercipta untuk tidak dapat berdusta. Bravo untuk yang menciptakannya, siapa pun itu adanya.
Masih. Tak ada kata yang terucap darinya. Hanya senyum itu yang kudapat saat aku memejamkan mata untuk segera beranjak. Karena kamu adalah makhluk yang bila ingin tetap hidup seharusnya diberi jarak. Sepintas dari sudut mata kulihat, kamu mengenggak iced chocolate-mu dengan wajah yang damai. Tak ada kalimat perpisahan. Hanya kalimat penutup yang kubuat untuk mempertegas kenyataan. Mungkin aku akan menyesal pernah mengatakan kalimat semacam itu padamu. Mungkin aku yang akan membuatmu beku untuk entah berapa lama. Sebeku iced chocolate yang kau teguk sekuat tenaga untuk menahan semua kecewamu padaku. Tapi ingatlah selalu kalimat itu, agar pada suatu titik nanti aku berlutut ingin kembali, kau tak akan pernah sudi. Ingatlah selalu kalimat terakhirku di kedai kopi itu, duhai Anginku. Berhembuslah kemana pun kau mau. Jangan pernah biarkan aku masuk lagi ke dalam kehidupanmu. Betapa pun memohonnya aku.