Mohon tunggu...
St Nurwahyu
St Nurwahyu Mohon Tunggu... Penulis - Ayu Khawlah

Islam Rahmatan Lil 'alamin

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Tak akan Habis dalam Sistem Kapitalis

19 Agustus 2021   19:14 Diperbarui: 19 Agustus 2021   19:22 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya Kasus Korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas seakan menjadi budaya di negeri ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk pemberantasan korupsi bukannya meminimalkan tindak korupsi, tetapi justru tindakan tersebut semakin merajalela.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. Menurut survei LSI tersebut, isu korupsi kini berada di urutan pertama dari enam kategori lainnya. (www.detik news.com, 8/8/2021)

Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat. Korupsi di negeri ini seolah tiada habisnya.

Namun di balik hal tersebut, pemerintah kita justru menjadikan mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). PIM merupakan anak usaha PT Pupuk Indonesia (BUMN). Ia diangkat menjadi komisaris sejak 18 Febuari 2021 dan ditunjuk oleh para pemegang saham PT PIM. Profil mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P itu sendiri telah dimuat di laman resmi PT PIM.

Padahal seperti yang kita ketahui bahwa ia pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004 saat menjadi anggota DPR. Ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014. (www.kompas.com, 6/8/2021)

Jika dilihat-lihat seharusnya ia tidak  memenuhi syarat sebagai anggota dewan komisaris. Namun karena saat ini kita menggunakan sistem kapitalis, sistem yang sangat ramah terhadap para koruptor. Padahal jika kita melihat survei diatas sudah sangat jelas bahwa kasus korupsi adalah problem terbesar. Karena bukan hanya merugikan negara namun juga merugikan masyarakatnya.

Lantas haruskah kita hanya berdiam diri dengan sistem yang saat ini masih diterapkan? Tentu saja tidak, ini saatnya bagi masyarakat menyadari bahwa sistem yang digunakan bukanlah sistem yang benar. Karena sistem saat ini masih menggunakan hukum buatan manusia. Sistem yang benar hanyalah sistem islam, karena sistem tersebut berdasarkan Al Qur'an dan As sunnah.

Dalam sistem Islam, para koruptor akan dikenakan hukum yang sesuai dengan perintah Allah, yakni hukum _qishas_. Yang akan memberikan efek jera bagi koruptor, bukan seperti sistem saat ini yang justru meringankan hukuman bagi koruptor.

Namun sistem tersebut hanya mampu di terapkan di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, agar sistem Islam dapat diterapkan secara kaffah. Hingga tuntaslah masalah korupsi ini dan menutup semua pintu terjadinya korupsi.

_Wallahu a'lam bish shawab._

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun