Mohon tunggu...
Nurul Ayu Kesuma
Nurul Ayu Kesuma Mohon Tunggu... Freelancer - Soul Searching

Always on the go :-)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Duh, Angkutan Sampah Jakarta Masih Primitif!

18 Januari 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:53 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya hampir tidak ada orang Indonesia yang bercita-cita menjadi tukang sampah. Satu-satunya orang yang saya tahu bercita-cita menjadi tukang sampah adalah Fizi, salah satu murid di TK Mesra dalam film seri Upin Ipin. Apabila ada anak Indonesia yang punya cita-cita menjadi tukang sampah, saya yakin orang tuanya pasti akan shock berat dan buru-buru ‘mengarahkan’ sang anak pada cita cita yang lain.

Ya, tukang sampah bukanlah pekerjaan favorit di Indonesia. Bekerja sebagai tukang sampah masih merupakan pilihan terakhir. Biasanya setelah gagal memperoleh pekerjaan lain, barulah pekerjaan tukang sampah dilakoni, demi menafkahi anak dan istri.

Ada dua kelompok petugas sampah yang bekerja di Jakarta. Kelompok pertama adalah para petugas yang bekerja digaji oleh Pemda DKI, umumnya mereka bertugas menyapu sampah di jalanan. Pada masa Jokowi menjabat gubernur DKI, upah mereka disesuaikan dengan UMR. Kelompok kedua adalah para petugas sampah yang bekerja mengumpulkan sampah di perumahan. Penghasilan mereka diperoleh dari iuran kebersihan yang dikumpulkan warga. Mereka inilah yang sering kita lihat di sekitar perumahan bersama gerobak sampahnya.

Seorang tukang sampah di Jakarta biasanya bekerja dari pagi sampai sore di area tugasnya, rata-rata 2-3 RT per petugas. Apabila satu RT terdiri dari sekitar 100 rumah, maka seorang tukang sampah setidaknya harus mengangkut sampah dari 200an rumah setiap hari dari Senin sampai Sabtu. Untuk semua kerja keras ini mereka memperoleh penghasilan berkisar 250,000 – 300,000 per RT / bulan yang dikumpulan dari iuran warga. Sangat minim, jauh di bawah UMK Jakarta yang sebesar Rp. 2,700,000. Jadi tidak heran menjadi tukang sampah adalah pilihan terakhir karena pekerjaannya sangat berat tetapi penghasilannya sangat minim.

Terlepas dari rasa prihatin terhadap penghasilan mereka yang minim, saya merasa trenyuh setiap kali melihat tukang sampah sedang bekerja. Tukang sampah yang sering saya temui umumnya bertubuh kurus, kulit gelap terbakar matahari, mengenakan baju kusam, kadang tanpa alas kaki, berjalan perlahan menyusuri jalan sambil menarik gerobak penuh berisi sampah. Apabila sampah yang diangkut berat, mereka menggunakan tali tambang sebagai alat bantu. Salah satu ujung tali tambang diikatkan di gerobak dan ujung yang satunya lagi dililitkan ditubuh supaya daya tarikan yang dihasilkan lebih besar. Kadangkala saya melihat mereka berjalan sampai terbungkuk-bungkuk menarik gerobak yang sangat berat, mengerahkan seluruh tenaga sampai urat urat lehernya terlihat menonjol keluar tanpa peduli rasa perih akibat tali tambang yang kencang melilit tubuh. Duh, betapa mirisnya.

Pemandangan ini mengingatkan saya pada film-film tentang kehidupan di abad pertengahan, saat manusia belum menemukan mesin penggerak. Pada jaman itu alat transportasi masih mengandalkan tenaga manusia atau (mohon maaf) tenaga hewan sebagai alat transportasi.  Tanpa bermaksud merendahkan martabat manusia, tapi hal ini adalah kejadian nyata beberapa ratus tahun yang lampau. Tapi ironisnya situasi yang primitif tersebut masih terjadi di tengah peradaban modern ini, bahkan di kota besar seperti Jakarta.

Bukankah kita sudah tidak pernah melihat kuda atau keledai menarik kereta barang berkeliaran di jalanan di Jakarta? Tapi kenapa manusia masih digunakan untuk menarik gerobak sampah?

Rasanya sangat absurd menyaksikan pemandangan tukang sampah menarik gerobaknya di antara bangunan pencakar langit dan semrawut lalu lintas yang dipenuhi kendaraan bermotor. Ketika bidang pekerjaan dan kehidupan sosial kita telah memanfaatkan kemajuan teknologi modern bahkan teknologi digital terbaru, ternyata untuk mengangkut sampah kita masih menggunakan cara-cara yang primitif dari abad pertengahan.

Sekedar perbandingan, sampah perumahan di negara maju diangkut menggunakan mobil ber-AC yang dilengkapi dengan fasilitas daur ulang sampah. Petugas pun harus menggunakan seragam khusus ketika bekerja sehingga terlindungi dari bahaya infeksi. Sangat jauh berbeda dengan apa yang kita miliki di Jakarta.

Sistem di negara maju memang tidak bisa sepenuhnya diterapkan di sini. Pertama tentu saja masalah anggaran, karena menyediakan mobil yang dilengkapi dengan alat daur ulang membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Selain itu jalanan di perumahan Jakarta juga tidak semuanya bisa dilalui mobil, sehingga tidak mungkin menggunakan alat angkut sampah seperti di negara maju. Tetapi selain mobil masih ada beberapa opsi angkutan sampah yang lain - yang tidak primitif meskipun tidak super canggih juga - misalnya gerobak sampah bersepeda atau gerobak sampah bermotor.

Investasi alat pengangkut sampah yang lebih modern, misalnya gerobak sampah bermotor tentunya lebih mahal daripada gerobak primitif yang selama ini digunakan. Tetapi penggunaan alat angkutan sampah yang lebih modern tentunya akan membuat pengangkutan sampah lebih cepat dan efektif sehingga bisa mengangkut sampah lebih banyak. Jakarta akan lebih bersih dan cepat terbebas dari tumpukan sampah. Petugas sampah pun akan lebih cepat menyelesaikan tugasnya, sehingga memungkinkan mereka memiliki sisa waktu dan tenaga untuk mencari tambahan penghasilan menutupi kebutuhan keluarganya.

Sebenarnya Pemda DKI melalui Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Pemda DKI sudah mulai melakukan pengadaan gerobak sampah motor sejak tahun 2007 tapi setelah tujuh tahun berlalu baru tersedia 600 gerobak motor. Bandingkan dengan Pemda Bandung di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil yang sudah mencanangkan memiliki 1500 gerobak sampah bermotor dalam beberapa tahun yang akan datang.

Meskipun memiliki anggaran yang cukup besar untuk pengelolaan sampah , tapi anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan gerobak sampah bermotor ternyata masih sangat kecil. Setiap tahunnya Pemda DKI menganggarkan dana sekitar 500 miliar untuk pengumpulan sampah dari rumah-rumah dan pengelolaannya di TPA. Akan tetapi anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan gerobak sampah motor hanya sebesar 9 miliar di tahun 2013, dan pos anggaran ini pun tidak selalu tersedia setiap tahun.

Tampaknya pengadaan gerobak motor belum menjadi prioritas Pemda DKI sampai dengan saat ini. Entah apa yang menjadi kendalanya, boleh jadi anggaran merupakan salah satu diantaranya. Dalam hal anggaran, sebenarnya Pemda DKI bisa mencontoh Pemkot Bandung yang menggandeng pihak swasta untuk meyumbang gerobak sampah bermotor. Apabila selama ini Pemda DKI melibatkan swasta melalui program CSR untuk perbaikan taman kota, maka program perbaikan taman ini  mungkin dapat diperluas dengan penyediaan gerobak sampah bermotor. Tentu saja jumlahnya tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan di Jakarta akan tetapi setidaknya bisa menambah populasi gerobak sampah bermotor di Jakarta sehingga bisa membuat wajah kota ini sedikit lebih manusiawi.

Sementara menunggu Pemda DKI meluncurkan program yang serius untuk mengganti angkutan sampah primitif dengan yang lebih modern dan manusiawi, marilah kita sebagai warga yang selama ini dilayani tukang sampah untuk tidak lupa memperhatikan kesejahteraan mereka. Tanpa kerja keras para tukang sampah, tentunya tidak mungkin kita bisa menikmati lingkungan tempat tinggalyang bersih dan sehat seperti selama ini.

Nurul

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun