Berawal dari keinginan seorang freshgraduate yang ingin terjun di dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya, dunia kerja yang kata orang-orang lebih butuh ekstra usaha dan ekstra keberuntungan, aku memutuskan untuk mencari kerja di daerah yang jauh dari kota asalku, kota kecil di Jawa Timur. Dengan alasan, ingin lebih mandiri dan ingin lebih mengenal dunia luar saat itu aku mencoba mnegirimkan surat lamaran pekerjaanku di beberapa perusahaan yang sekiranya berkantor di luar Jawa Timur. Terlihat norak memang, memiliki keinginan untuk bekerja di luar kota asal, but this is my decision. Sebenarnya aku juga bukan anak rumahan yang seumur hidup tinggal di kota asalku saja, dari kecil hingga aku kuliah aku terhitung lumayan banyak berpergian di luar kota entah itu keluar provinsi atau keluar pulau, entah itu untuk sekedar berlibur, atau untuk menetap di sana sementara. Tapi aku pikir saat itu, inilah saatnya aku harus bisa berdiri di atas keputusanku sendiri dan merasakan bagaimana mempertanggung jawabkan hidupku sendiri.
Setelah mencoba melamar di beberapa tempat, sebuah perusahaan multinasional tertarik menjadikanku pegawai. Aku ditempatkan di ibukota. Kota dimana semua orang dari segala penjuru kota tumpah ruah berebut mencari rejekinya masing-masing. Kota dimana terjadi “seleksi alam” yang begitu ketat (ini menurut pribadiku, disini yang terkuatlah yang akan bertahan, yang lemah akan tersingkir dan yang menyerah akan tertindas). Kota dimana banyak menyuguhkan potret kehidupan berbagai macam orang, berbagai macam suku, dan berbagai macam kebudayaan, serta gaya hidup. Dan kota yang lebih mirip dengan hutan tembok.
Pertama kalinya menginjakkan kaki disini, awalnya aku merasa “ya inilah hidup sebenarnya, dimana waktu berjalan dengan cepat dengan begitu banyak tantangan dan persaingan”. Semua orang disini tampak terburu-buru. Langkah mereka tampak cepat dan tak beraturan. Pikiran mereka tampak penuh dengan berbagai hal mulai soal bisnis, uang, gaya hidup, pengakuan diri dan lain sebagainya. Dan yang paling penting mereka tidak peduli dengan keadaan sekitar mereka. Mereka hanya peduli “asal kebutuhanku terpenuhi dan tujuanku tercapai”. Orang-orang itu tampak seperti zombie menurutku K.
Banyak anak kecil yang kehilangan masa kecil mereka, mereka menjadi dewasa lebih cepat dibanding umur mereka. Dewasa bukan dalam artian pola pikir mereka, namun dewasa dalam artian hanya sikap dan polah mereka, tanpa bisa mempertanggungjawabkan polah “dewasa” mereka. Banyak pula orang dewasa yang kehilangan kematangan mereka. Mereka memang tampak dewasa diluar, tapi untuk bisa memilih mana yang buruk dan mana yang baik mereka masih belum yakin.
Lama-kelamaan aku berpikir, kota ini tidak cocok untukku. Aku ingin segera pulang kembali ke kota asalku. Toh rejeki juga tidak hanya terkumpul disini saja. Tuhan saja sudah menyebutkan bahwa rejeki itu ada di seluruh penjuru muka bumi, entah itu di kota besar atau di kota kecil, tinggal kita saja yang harus menemukannya dengan usaha yang sungguh-sungguh tentunya.
Lagipula seperti yang pernah dikatakan oleh seorang penulis, Indonesia juga bukan hanya kota ini saja, masih banyak kota-kota lain, lalu kenapa semua berkumpul di ibukota saja. Ya, itulah poinnya. Indonesia bukan Cuma ibukota saja. Masih banyak kota lain yang perlu dibenahi. Masih banyak kota lain yang perlu dikembangkan. Jika hanya ibukota saja yang dibenahi dan dikembangkan lalu mau jadi apa daerah-daerah lain di Indonesia? Apa dibiarkan tertinggal dan lama-lama dirampas oleh Negara tetangga? Tidak heran jika selama ini hanya ibukota saja yang ramai dipenuhi oleh para urban dari penjuru kota yang ingin mencari penghidupan, karena memang hanya kota ini saja yang menjadi pusat perhatian, karena memang hanya kota ini saja yang dimajukan dan dikembangkan. Daerah lain juga memiliki potensi yang tidak kalah hebat dari ibukota. Jika kita berpikir, ibukota tidak memiliki sumber daya alam apapun yang bisa digali yang bisa diolah, namun mengapa hanya kota ini saja yang bisa berkembang? Daerah lain di Indonesia memiliki banyak sekali potensi yang bisa diolah, namun sayang yang diperhatikan hanyalah si ibukota tersayang, yang lain dianaktirikan. Jadi tidak salah jika banyak pihak asing yang memanfaatkan keadaan seperti ini. Pihak asinglah yang akhirnya mengambil keuntungan dengan kekosongan pengelola yang ada di daerah berpotensi ini. Jadi jangan bilang pihak asing yang mencuri potensi Negara kita, tapi Negara kita sendiri yang tidak mau mengurusi dan lebih perhatian kepada ibukota saja. Bukan salah Negara juga, jika yang diperhatikan hanya ibukota saja, tapi salah pemudanya juga.
Banyak anak-anak muda yang berpotensi yang enggan untuk memajukan daerah asalnya sendiri, mereka lebih memilih untuk hidup di ibukota dengan segala fasilitasnya dibanding hidup di daerah asal mereka dengan fasilitas terbatas namun dengan potensi yang tak terbatas.
Bermula dari itulah, aku sadar sebagai salah satu generasi muda Negara ini mengapa aku tidak mencoba untuk memajukan daerahku sendiri, kampungku sendiri? Padahal ada banyak hal yang perlu dibenahi dan dikembangkan di daerahku sendiri. Perlu diketahui, daerah asalku sendiri sebenarnya memiliki kekayaan yang melimpah, disana banyak terdapat sumber minyak bumi yang bisa memberikan keuntungan bagi Negara, banyak sumur tua yang belum digali yang memiliki potensi minyak bumi yang luar biasa. Tapi sayang, seperti yang aku sebutkan diawal, kondisi ini sudah dimanfaatkan oleh pihak asing. Banyak perusahaan asing yang sudah menanamkan modalnya untuk menggali potensi ini. Padahal masyarakat di daerah asalku cukup banyak yang masih dibawah garis kemiskinan, masih banyak balita menderita gizi buruk, dan masih banyak anak yang putus sekolah. Bisa dibilang kita kelaparan di rumah kita sendiri, miris memang.
Oleh karena itulah, aku berpikir inilah saatnya aku pulang. Inilah saatnya aku berkonstribusi untuk daerahku. Jika bukan aku yang bergerak, siapa lagi yang akan bergerak memajukan daerahku. Apa aku harus menunggu daerahku terjajah baru aku pulang untuk memberontak?
Pulang bukan berarti aku menyerah, pulang bukan berarti aku kalah. Aku pulang karena memang selalu ada “rumah” yang selalu menungguku saat aku mulai lelah berkelana, tempat yang pada akhirnya aku menghabiskan waktuku untuk melakukan banyak hal yang sudah kurindukan sejak lama yang tidak bisa aku lakukan selama berkelana. Aku pulang untuk karena disanalah aku dilahirkan dan dibesarkan, disana jugalah aku harus mengabdikan diriku. Pengabdian untuk perubahan yang lebih baik.
Bagiku melihat dunia dunia luar tidak harus berpergian ke tempat yang nun jauh disana. Berpergian melihat dunia luar bisa diawali dengan melihat kondisi sekitar kita, sudahkah kita melakukan hal yang bermanfaat untuk sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H