Masa depan memang penuh ketidakpastian. Tidak ada yang benar-benar mengetahui 5 atau 10 tahun ke depan seseorang akan menjadi seperti apa dan bagaimana mereka menjalani hidupnya kelak. Berawal dari ketidakpastian tersebut, sebagian orang atau mungkin kebanyakan orang akan mengalami masa-masa penuh kebimbangan dalam hidup.Â
Terlebih di masa pandemi seperti saat ini, kebimbangan-kebimbangan tersebut tak ayal menjadi ketakutan yang terus mengendap di pikiran. Hal ini tak lepas dari faktor banyaknya aktivitas yang harus dilakukan di rumah sehingga membuat waktu untuk berpikir tentang diri sendiri lebih banyak dibandingkan saat keadaan normal seperti sebelumnya.
Membandingkan diri sendiri dengan orang lain, berpikir bahwa diri masih jalan di tempat, hingga merasa diri belum mampu melakukan apapun menjadi hal yang kerap kali menguasai pikiran. Tanpa disadari, pikiran-pikiran negatif itu sebenarnya cukup membuang-buang waktu dan tidak akan menghasilkan apapun jika tanpa diiringi dengan aksi nyata.Â
Untungnya, The Leader, sebuah komunitas yang bertujuan memberdayakan serta mengaktualiasasikan potensi para generasi muda, menggagas sebuah program menarik di tengah pandemi ini. Program dengan nama The Leader Cafe menjadi salah satu solusi agar para generasi muda tetap dapat mempelajari banyak hal berguna selama masa pandemi.Â
Tak hanya menambah ilmu dan teman baru dari seluruh Indonesia, program yang dilaksanakan dari tanggal 22 Agustus hingga 25 November ini membuka pandangan baru untuk para pesertanya, khususnya saya. Memahami psikologis, belajar manajemen finansial, berpikir kritis, isu sosial, dan berbagai topik menarik lainnya menjadi terasa begitu bermanfaat karena semuanya adalah hal-hal yang memang dekat dengan diri kita dan perlu kita pahami dengan tepat.
Melalui program The Leader Cafe, saya belajar bahwa pikiran adalah hal utama yang dapat mengendalikan diri dan menentukan langkah kita. "Our mind is like a home," begitu kata Kak Mifta, saat menyampaikan materi tentang Psychological Well-being. Masih teringat jelas, saat itu kak Mifta meminta para peserta untuk menuliskan apa yang dirasakan seperti merasa tidak memiliki apa, merasa tidak mampu melakukan apa, dan juga menuliskan sifat negatif masing-masing pada sebuah buku.Â
Setelah menuliskan bagian negatif, peserta diminta menulis kebalikan dari yang sebelumnya seperti apa yang dimiliki, apa yang bisa dilakukan, dan sifat positif apa yang dimiliki. Tak hanya sekadar menuliskan, beberapa peserta juga diminta untuk berbagi tentang apa yang dituliskannya. Sesi dan interaksi seperti ini membuat peserta belajar melihat ke dalam diri serta memahami dirinya sendiri terlebih dahulu. Melalui pemahaman yang benar tentang diri sendiri, hal negatif yang memenuhi pikiran justru dapat kita ubah menjadi hal yang lebih positif.Â
Tak hanya itu, pemateri juga menyampaikan Resilience Plan yang berguna untuk membantu melawan tantangan masa depan. Support, strategies, sagacity, dan solution-seeking atau biasa disebut dengan 4S adalah kemampuan yang diperlukan untuk mengatasi apapun yang terjadi dalam hidup kita.Â
Support adalah apa yang membantu kita untuk tetap berdiri tegak, strategies merupakan cara untuk tetap mampu bergerak meski dalam keadaan tidak baik, sagacity adalah sumber harapan dan motivasi, dan solution-seeking adalah tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk menyelesaikan masalah. Bukan hanya sekadar mengatasi persoalan, jika kita melakukan 4S ini dengan tepat maka kita akan mampu bangkit kembali dari setiap masalah yang ada sehingga dapat menjadi orang yang lebih kuat dari yang sebelumnya.
Di sesi berikutnya, para peserta diajak untuk mulai mempelajari konsep mindfullnes. Konsep sederhananya adalah "mindfullnes is an art of 'being in the moment' in here and now". Seperti pada sesi sebelumnya, kali ini para peserta juga diminta untuk berinteraksi dengan dirinya secara lebih dekat. Menuliskan apa yang membuat kita tertekan dan stres, membayangkan bentuk stres yang kita rasakan dalam sebuah gambar, menamai perasaan tersebut, hingga mendeskripsikan dan memberikan nilai terhadap perasaan tersebut dilakukan oleh setiap peserta.Â
Para peserta juga diajarkan warning signs atau tanda-tanda peringatan yang mengarah bahwa seseorang sedang merasakan perasaan negatif. Hal ini agar perasaan negatif tersebut sebaiknya dapat diatasi sebelum membuat dampak negatif lainnya. Ketika pemicu stres terlalu kuat, kita dapat berusaha mengontrolnya dengan mencoba merasakan 4 benda yang terlihat, 3 suara yang terdengar dengan mata tertutup, 2 rasa yang dirasakan kulit, dan 1 bau yang tercium.Â