Setelah gerimis menguyur bumi sepanjang malam, siang harinya sang mentari mengeringkan tanah-tanah yang basah. Memberi kehangatan pada seluruh penghuni bumi. Aku masih asyik menikmati kehangatan itu seraya mengambil posisi di belakang rumahku. Tak tertinggal benda mungil yang selalu menemaniku dimana pun aku berada, begitu pun aku juga tak ingin berpisah lama dengan benda kesayanganku itu. Tiba-tiba benda mungil itu menyalah, sebuah pesan singkat menyapa kediamanku disiang itu. Ku letakan pisang goreng yang nyaris ku lahab, lantas membaca sebuah pesan singkat itu. Setelah membalas pesan dari Santi, aku lantas memutuskan untuk beranjak pergi ke lapangan latihan voli di sekolah.
Lapangan latihan memang tak pernah sepi juga tak begitu ramai, mungkin ini adalah salah satu alasanku pergi kesini. Menjadi pemain dan tidak hanya dipermainkan oleh bola. Dari lapangan voli aku beralih ke lapangan basket yang berjajar dengan lapangan voli. Setelah beberapa menit kemudian tiba-tiba suara hentakan kaki berjalan ke arahku.
“Hey Sendy, kemarin kamu bilang hari ini ndak ikut latihan voli soalnya nganter Santi ke toko buku” ujarnya padaku.
“Nggak jadi, aku capek, ku biarkan saja Santi pergi sendirian lagi pula dia sering berpetualang di kota metropolitan. So, nggak mungkin dia nyasar” jawabku seenaknya. Aku kembali mencoba memasukan bola ke dalam keranjang basket. Lama Didin hanya memandangku gagal memasukan bola, namun saat aku sudah memasukan bola yang ke lima akhirnya aku berhasil memasukan bola dengan tepat. Aku tersenyum bangga.
“Sen, sebenarnya tadi ketemu Santi nungguin bis sendirian. Aku juga menduga kamu nggak jadi ikut tapi bagaimana mungkin?! Itu adalah keinginan kalian berdua selama satu tahun baru kesampaian hari ini. Tapi kamu…?” Didin tak melanjutkan kalimatnya, sengaja ia utarakan pertanyaannya itu dengan mengeryitkan dahi lalu memandang sekelilingku, menggelengkan kepalanya seraya mengangkat pundaknya. Perkataan Didin seperti menyuruhku untuk berhenti memainkan bola.
“Tapi aku males, nggak mood untuk pergi hari ini. Yang kamu herankan kenapa aku bisa ada disini. Tentu saja aku memiliki alasan yang pas untuk membatalkan perjanjian kami. Aku bilang padanya Ibuku sakit dan beliau minta aku untuk menemaninya. Beres kan…”
Didin lantas beranjak tepat di hadapanku. Seolah-olah kedua matanya melotot ingin menikamku.
“Lebih baik kamu tak usah berbohong seperti itu. Aku yakin kamu lebih tahu bagaimana kebaikan Santi terhadapmu selama ini. Kamu juga sering menceritakan mimpi kalian berdua saat menjelajahi berbagai toko buku di kota metropolitan, namun begitu mudahnya mimpi itu hambar. Ku kira kamu bersungguh-sungguh ingin menikmati mimpi itu. Mimpi dua gadis bersahabat dan aku yakin Santi sudah kecewa karena ia berangkat seorang diri. Dan kamu tahu. Aku pun kecewa karena kamu sudah berbohong, ingat Sendy, ucapan itu bisa menjadi do’a. Apa kamu nggak memikirkan itu?!”
Kakiku nyaris kesemutan mendengarkan celoteh Didin yang sedikit mengundang emosiku. Entah apa yang membuatku marah saat itu, seluruh tubuhku kaku hingga lidahku keluh untuk mengutarakan semua gerutuku yang sudah ku simpan dalam hati. Keringatku menetes di lengan kananku, saat itu pula aku sadar di lapangan itu adalah tempat untuk memainkan bola bukan bola mata. Ku tarik kakiku selangkah kebelakang dan mengatur kembali jantungku betdetak dalam keadaan normal.
“Mungkin aku hanya mengecewakannya sekali tapi kenapa mulutmu selalu berkata seolah-olah aku paling bersalah. Heh…?! Atau jangan jangan kamu menyukai Santi…?”
“Menyukainya atau tidak itu bukan urusanmu yang jelas aku nggak suka kamu berbohong apa lagi memilih alasan Ibumu sakit” ujar Didin lantas menjatuhkan bola basket dalam genggamanku, seraya perlahan menggerakan kakinya untuk menjauhiku hingga bayanganya hilang dari pandanganku.
Semenjak kejadian itu Didin tak lagi berbicara banyak apa lagi curhat denganku. Bahkan aku tak pernah melihat kehadirannya di lapangan latihan. Aku dan Santi masih berteman seperti biasanya. Kami tak pernah bertengkar dalam jangka waktu yang lama. Namun, aku masih belum berani mengatakan yang sebenarnya mengenai alasanku tidak pergi ke toko buku di kota metropolitan waktu itu. Satu bulan berlalu Didin masih menunjukam aksi cuek di hadapanku. Aku semakin tak mengerti kelakuannya itu. Aku pikir jika memang aku bersalah seharusnya aku meminta maaf pada Santi bukan pada Didin. Lagi pula kalau aku menyakiti perempuan idamannya kenapa malah dia yang marah. Aku lantaran membiarkan sikap Didin terhadapku dan menganggap kejadian di lapangan basket tempo hari tak pernah terjadi.
Aku masuk kelas lima menit setelah bel berbunyi, kebetulan jam pelajaran kosong. Namun, teman-temanku seperti sedang meributkan sesuatu. Ternyata mereka berencana untuk menyaksikan pertunjukan teater di alun-alun kota besok siang, tempatnya lumayan jauh dari sekolahku. Begitu mendengar kabar itu, aku lantas mencari Santi. Berharap dia bersedia pergi bersamaku. Ku seret kakiku melewati koridor sekolah hingga ku temukan Santi sedang berada di perpustakaan. Ku lontarkan alasanku menemuinya.
“Ya Sendy, aku sudah ada janji sama temanku di rumah lihat pertunjukan bareng. Nggak mungkin aku batalin janji, aku takut bikin temanku kecewa. Sorry banget ya…! Gimana kalau bareng teman kita yang lain mungkin aja teman-teman di kelas sewa mobil atau apaann gitu. Sebenarnya aku sudah mendengar acara itu sebelum teman-teman di kelas tahu, makanya tadi aku nggak ada di kelas” ucap Santi. Saat itu juga sedikit membuatku kecewa. Tapi mungkin benar aku bisa pergi dengan temanku yang lain, dan aku memilih memgajak Riska. Riska adalah teman dekatku sejak aku pertama kali berada pada masa orientasi, tetapi belakangan ini Riska di sibukan dengan bermain gitar dan jarang nongkrong bareng aku dan Santi. Acara ini memang sangat ditunggu teman-temanku di kelas, karena selain menambah wawasan. Waktu selebihnya usai pertunjukan bisa dimanfaatkan untuk sekadar menyegarkan otak. Usai pulang sekolah aku berbincang dengan Riska. Namun, Riska harus menjenguk neneknya di RSBU besok. Akhirnya aku juga tak jadi pergi, teman-temanku pergi dengan kendaraan sendiri. Aku mengusir rasa bosan di rumah dengan nongkrong di depan laptop yang sudah terhubung dengan internet. Selain facebook, aku juga membaca cerita fiksi online yang dimuat di koran kompas.
Menjelang fajar aku tak menunggu lama dan bermalas-malasan di atas kasur. Di sekolah aku bertemu Santi dan menghabiskan waktu istirahat di kanti bersama seperti biasa. Santi berbagi pengalamannya kemarin saat melihat pertunjukan di alun-alun kota. Dengan sangat bersedih aku berucap tertinggal di rumah. Karena Riska tak dapat menemaniku.
“Oh ya…?! Tapi aku bertemu dia barengan sama Radit. Pantesan aku nggak lihat kamu” ucap Santi seraya memainkan sedot es jeruk di hadapannya.
“Yang bener? Soalnya dia bilang…” sengaja aku tak melanjutkan kalimatku. Santi memandangku seraya mengangkat pundaknya. Jujur aku sangat sakit hati dan kecewa pada Riska, tak seharusnya ia berbohong padaku. Jika pun ia memilih pergi dengan Radit aku akan baik-baik saja dan tak merasa kecewa seperti ini.
“Kamu kenapa San? Kayak pengen nangis gitu heheheeee…”
“Tentu saja aku sangat kecewa sama Riska, kamu tahu sendiri aku paling nggak suka dibohongi”
“Saba saja San, mungkin Riska memiliki alasan atau memang malu berterus terang sama kamu. Kamu juga harus bisa ambil sisi positifnya, kali aja dari kejadian ini kamu tidak mengecewakan seseorang biar nggak ada lagi yang sakit hati. Ya kayak kamu saat ini” Santi tersenyum padaku dan mencoba menenangkan hatiku. Namun, dari perkataannya itu membuatku teringat akan suatu hal yang mungkin bila ku ceritakan saat ini juga akan mengecewakan hatinya. Dalam hatiku masih tersimpan rapat alasanku membatalkan mimpi kami bersama. Mungkin ini adalah ganjaran yang harus aku terima karena dulu telah mengecewakan sahabat terbaikku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H