Mohon tunggu...
ayu faridhotul choiroh
ayu faridhotul choiroh Mohon Tunggu... -

seorang gadis belia dari lamongan, penuh semangat untuk selalu berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Tanpa Kata (2)

26 Januari 2014   07:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“San, sebenarnya aku pengen jujur sama kamu” ujarku seraya mengambil posisi duduk yang nyaman didepan Santi. Tapi entah tiba-tiba saja jantungku berdetak tak karuan, antara posisi takut dan kasihan bercampur menjadikanku tak bisa merasakan hembusan angin dipagi menjelang siang itu.
“Mengenai apa, telingaku udah siap nih. Dari ekspresi kamu yang tiba-tiba merah padam gini kayaknya ceritanya seru” ujar Santi seraya tersenyum genit mengodaku. Tentu saja aku tak mampu membalas senyum Santi karena kabar yang akan aku ceritakan padanya mungkin mengecewakan dirinya. Tapi bagaimana pun aku harus mengatakan alasanku yang sebenarnya meski kejadiannya sudah lampau.
“Itu mengenai…” tiba-tiba aku terdiam dan bingung harus memulai dengan kalimat apa “Tuhan, mungkinkah kisah persahabatan kami akan berakhir karena aku telah mengecewakan Santi. Kami belajar mati-matian untuk mendapatkan juara, dan uang kami akan kami pergunakan untuk jalan-jalan di kota sambil membeli referensi buku sebanyak-banyaknya. Tapi aku, aku sudah mengagalkan resolusi itu. Mungkinkah dengan kejadian ini Santi tak sudi lagi mengajakku bermimpi”. Aku masih membiarkan Santi menunggu bibirku mengeluarkan sebuah kalimat berikutnya.
“Sebenarnya aku mau minta maaf karena sudah berbohong sama kamu, aku sejak kemarin…” tiba-tiba saja aku terpaksa tak melanjutkan kalimatku. Sosok Didin berjalan kearah kami. Dia tersenyum padaku lantas menyapa Santi seraya duduk di sebelah Santi. Aku biarkan saja mereka berdua berbincang kesana kemari. Aku sendiri merasa hubunganku dengan Didin masih dalam keadaan kritis. Aku kehilangan sosok sahabat seperti Didin yang selalu mengajariku ketika aku kesulitan menghadapi masalah-masalahku. Di hadapannya kini aku hanya bisa terdiam dan tak banyak komentar. Setiap kali aku menatap mukanya, aku selalu teringat kata-kata dia dengan kekecewaannya terhadapku. Sekarang Didin hadir di hadapanku dan aku tak bisa menghindarinya selain mematung bagai boneka di tempat itu.
“Aku traktir minum ya Din, soalnya hari spesial buat kamu. Udah lama banget kan kita nggak ngobrol bareng kayak gini”
“Kamu ini San bisa aja hehehee” ujar Didin seraya tertawa lepas begitu pula dengan Santi. Kemudian Santi beranjak dari duduknya dan mengambilkan Didin minuman. Kini tinggal aku dan Didin yang duduk di satu meja itu. Tak ada kata yang terucap kami masih betah dengan kebisuan masing-masing. Tak lama kemudian Santi datang.
“Kalian berdua tumben ngomongnya malu-malu gitu. Ada apa hayo?” celetuk Santi lantas menyengol lengan kiriku. Aku pun tak membalas Santi selain hanya tersenyum tipis. Sesekali ku pandangi Didin, di hadapanku ia tak menyinggung apa pun mengenai aku, bahkan ia tak meladeni godaan Santi dan mengalihkan pembicaraan Santi ke topik yang lain.
Tak ada alasan lagi aku menyimpan kebohonganku kepada Santi. Esok harinya setelah pulang sekolah aku mengajak Santi jalan-jalan ke alun-alun kota. Kebetulan hari ini malam minggu, biasanya jika malam minggu alun-alun kota memang agak ramai ketimbang hari-hari biasa. Seraya menikmati es jus jeruk dan melihat anak-anak remaja bermain papan skyboard, kami duduk di pinggir area lapangan. Aku menceritakan semua alasan-alasanku yang selama ini menghantui langkah kakiku. Dan aku lega karena Santi memaafkanku, ia tak menyesal karena berbagi mimpi bersamaku. Karena kita mempunyai banyak keinginan yang sama, maka kami akan terus bermimpi. Mulai dari mimpi kecil hingga mimpi kita yang besar. Kita mempunyai mimpi lagi yaitu kuliah di Negeri kangguru sambil menjelajahi keindahan benua Australia.
“Oh ya Sen, kemarin kata Didin besok siang jam satu ada latihan voli”
“Setiap minggu kan emang ada latihan, dan nggak hanya voli saja tapi basket, futsal, dan bulu tangkis juga. Aku rasa aku nggak pernah absen untuk latihan, tapi aku lebih sering tahu Didin yang nggak pernah hadir di lapangan latihan” kataku sedikit sewot.
“Didin selalu latihan kok, mungkin kamunya aja yang nggak lihat kalau Didin selalu memperhatikan kamu” ujar Santi agak sinis.
“Coba aja kamu ikut latihan voli biar ketemu Didin setiap hari. Tapi beneran aku cuma latihan biasa kok sama Didin dan nggak ada unsur merebut perhatian Didin dari kamu”
“Dari aku? Untuk apa?” Santi dan aku saling berpandangan, layaknya anak kecil yang menemukan permen di tengah jalan lalu mencari tahu siapa pemiliknya. Aku lalu mejelaskan dugaanku tentang Didin dan Santi, saat Didin seolah-olah membela Santi karena perbuatanku telah menegcewakan Santi. Begitu pula Santi juga menjelaskan persepsinya waktu kejadian kemari di kantin sekolah pas jam istirahat. Kami berdua lantas tertawa bersama karena kedua dugaan kami yang ngawur itu.
“Aku juga lupa kalau Didin itu teman kita, makanya wajar saja jika Didin baik sama kita” ujar Santi masih dengan gelak tawanya yang nyaring.
Sesuai dengan kataku, kalau aku tak pernah absen mengikuti latihan di lapangan latihan ini. Seperti biasa, keringat berjatuhan usai latihan berakhir. Saking bahagianya karena aku sudah melepas bebanku dan menceritakan kegelisaanku kemarin pada Santi. Aku seperti tak memiliki daya lelah usai latihan. Akhirnya ku putuskan untuk berlatih permainan bulu tangkis yang sejak dulu belum aku pelajari bagaimana mencetak skor tertinggi sebelum lawan.
“Ini bulu tangkis bukan tenis lapangan, jadi kalau mau servis bola kamu tidak perlu melakukan tiga gerakan seperti itu”
Suara itu tiba-tiba muncul dari belakang aku berdiri, segera aku membalikan badan karena aku sangat mengenali suara itu. Dan ternyata benar, Didin berdiri tepat di hadapanku. Aku sangat merindukan omelan dan teguran dari Didin, dan kini orang itu hadir kembali.
“Kamu masih mau kan ngajarin aku?” kataku seraya tersenyum manis. Selangkah Didin semakin dekat, bahkan tak ada jarak diantara kita. Ia menggerakan tanganku serta mengajarkan servis bola dengan baik. Ia membisikan sebuah kata bahwa ia sudah mendengar tentang mimpiku menjadi mahasiswa di Australia. Aku yakin pasti Santi sudah menceritakan semuanya pada Didin entah itu kapan.
“Aku lega karena kamu sudah mau mengakui kesalahanmu. Karena aku nggak ingin kamu menyakiti orang lain, dan menyakiti orang lain itu sama halnya menyakiti diri sendiri” ucap Didin. Ini adalah kali pertama Didin menegurku dengan kata-kata yang lembut, seperti ada yang berbeda dari genggaman tangannya. Aku lantas tersenyum malu dan membiarkan Didin berdiri di dekatku seraya memainkan bola dan raket dengan tanganku, layaknya memperagakan seorang boneka.

Selesai…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun