Mohon tunggu...
Ayu Dwi saputri
Ayu Dwi saputri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

kesenian Ebeg

8 September 2024   09:15 Diperbarui: 12 September 2024   19:05 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ebeg adalah salah satu keseniaan budaya yang ada di Provinsi Jawa Tengah, salah satu daerah Jawa Tengah yang masih melakukan dan melestarikan tradisi budaya ebeg yaitu Kabupaten Purbalingga, Kecamatan Bojongsari. Kesenian ebeg merupakan bentuk tarian yang dibawakan secara berkelompok, serta diiringi dengan bentuk sajian musik (gending-gending) karawitan Jawa. Jumlah penari yang membawakannya kurang lebih sekitar 4-8 orang, sedangkan jumlah penabuh (pemain musik) gamelan (alat musik karawitan) sekitar 6-8 orang tergantung dan menyesuaikan dengan kebutuhan alat musik. Perangkat gamelan yang digunakan untuk mengiringi ebeg antara lain terdiri dari kendhang, Gong, Kempul, Kenong, Saron berjumlah 2 buah, dan Demung berjumlah 2 buah. Kesenian Ebeg juga memiliki ciri khas lainnya yang terkait dengan adat istiadat, tradisi, serta kepercayaan masyarakat Jawa Kuno yang masih bertahan hingga saat ini yaitu adanya perlengkapan uba rampe sesaji (sajen) seperti bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dan lainnya yang digunakan pada setiap menyelenggarakan pertunjukan.

Kesenian Ebeg merupakan bentuk tarian tradisional yang menggambarkan tentang kegigihan dan kegagahan prajurit dalam berlatih perang dengan menaiki kuda, yaitu dengan menggunakan properti kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (ebeg) sebagai ciri khasnya.

Kesenian ini termasuk kedalam kategori genre seni tari tradisi kerakyatan Jawa yang secara umum juga disebut sebagai kesenian Jaranan. Dibeberapa daerah lain seperti Jawa Timur dan Yogyakarta, sering juga disebut dengan istilah lain seperti kuda Lumping, Jaran Kepang, Kuda Kepang, atau Jathilan. Kesenian ini mulanya hanya disajikan sejumlah orang penari yang umumnya berumur diatas 30 tahun, dengan disertai musik pengiring dti sajian tiga bentuk gending (Ricik-ricik Banyumasan, Eling-Eling, dan Sawo Gletak), properti, dan kostum yang digunakan dalam pertunjukan, yang terdiri dari (kuda tiruan dari anyaman, cambuk, ikat kepala, selendang, kerincing kaki, kemeja berwarna merah, dan celana pendek berwarna hitam).

 

   Kesenian Ebeg dalam tradisi pementasannya mengenal adanya pola pembagian babak menjadi 3 babak. Babak pertama disebut sesaji suguh atau pembuka, babak kedua adalah bagian isi, dan yang ketiga adalah bagian penutup atau pamitan. Babak sesaji suguh merupakan prosesi penyajian ritual pembuka untuk memberi penghormatan kepada arwah para leluhur, roh (danyang) serta untuk memanjatkan doa dan permohonan kepada Tuhan agar pergelaran dapat berjalan dengan lancar sampai akhir. Prosesi ini diiringi dengan menggunakan bentuk sajian gending sesaji. Babak isi merupakan inti dari pergelaran tarian ebeg secara utuh, dari awal hingga akhir sampai pada tahap ndadi atau mendem (trance). Pada bagian terakhir adalah bagian penutup atau pamit mulih, yaitu bagian menandai berakhirnya rangkaian pergelaran. Babak ini menyajikan prosesi ritual 'pelepasan' dan penghantaran kembali roh-roh halus yang telah hadir dalam pergelaran, serta simbol penghormatan dan salam penutup untuk seluruh penonton yang hadir dalam pergelaran. Prosesi ini diiringi dengan bentuk sajian gending "Pamit Mulih "

Kesenian tersebut menjadi kuat karena banyak penduduk Jawa yang suka dengan kesenian ebeg. Kondis tersebut semakin mengokohkan jati diri ke-Jawa-an yang tidak bisa lepas ataupun ditinggalkan meskipun sudah berada pada lokasi hidup di lingkungan yang baru. Hal itu disebabkan oleh praktik-praktik keseharian yang masih saling menjalin kontak dan interaksi dalam ikatan sosial sebagai masyarakat Jawa. Hal itu berimplikasi kebudayaan, termasuk kesenian didalamnya hingga tetap bertahan dan dikembangkan secara turun-temurun seperti yang terjadi pada kesenian ebeg Banyumasan.

Kesenian ebeg dalam penggunaannya ditengah-tengah masyarakat seringkali dihadirkan menjadi bagian dari berbagai acara, upacara, serta hajatan yang diadakan oleh warga masyarakat sekitar. Kegiatan-kegiatan atau acara tersebut antara lain adalah khitanan, pernikahan, ritual dan perayaan bulan Sura, acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia serta bentuk-bentuk kegiatan lain dalam bentuk perlombaan maupun festival kedudukan kesenian ebeg dalam berbagai hajat serta berbagai bentuk acara dan kegiatan tersebut semakin mempertegas keberadaannya sebagai simbol sekaligus lambang yang terkait dengan jati diri sebagai orang Jawa, serta menjadi wadah interaksi bersama orang-orang yang melakukan kesenian ebeg dan orang-orang yang menonton kesenian tersebut.

Narasumber: Pak Harto (Dalang ebeg)

          Jurnal UPI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun