Mohon tunggu...
Ayu Dewi
Ayu Dewi Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Pemerhati Kehutanan (Gambut dan mangrove)

Latar belakang Pendidikan dan pengalaman kerja saya adalah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sylvofishery Untuk Ketahanan Pangan

12 Desember 2024   12:48 Diperbarui: 12 Desember 2024   12:48 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Tambak di Kaltara (sumber : GIZ-BRGM)

Pentingnya fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung kebutuhan manusia telah diteliti dan  disebutkan dalam banyak literatur. Selain fungsi fisiknya sebagai penjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, pelindung kawasan pantai dari badai dan abrasi, kawasan pesisir dari intrusi, memerangkap sedimen dan juga sampah/limbah dari daratan/perairan, ekosistem mangrove juga merupakan tempat memijah ikan dan habitat beberapa jenis satwa eksotik (bekantan). Fungsi lain yang tak kalah pentingnya adalah berpotensi untuk memberikan sumbangan ekonomi adalah besarnya simpanan cadangan karbon (terutama below ground) yang diprediksi sebesar lebih dari 3.0 Gton CO2e.
Ancaman terbesar ekosistem mangrove yang dihadapi saat ini adalah pembalakan liar dan alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman ataupun kebun sawit dan alih fungsi lainnya. Diperkirakan lebih dari 26 ribu hektar ekosistem mangrove setiap tahunnya hilang. Padahal, kehilangan ekosistem mangrove berarti juga kehilangan sumber mata pencaharian, nelayan yang semakin jauh melaut dan yang utama adalah bergesernya garis pantai (yang dapat berakibat bergesernya batas negara).
Salah satu upaya untuk mengatasi perubahan fungsi lahan dan menginternalisasi rehabilitasi mangrove bagi masyarakat pesisir adalah melalui pengenalan pola sylvofisheri (wanamina) yang memadukan penanaman mangrove dalam pengelolaan tambak. Pola ini diadopsi dari upaya yang dilakukan Perum Perhutani  pada era 80an, untuk mengatasi perambahan atas kawasan mangrove di Cikeong, Jawa Barat. Pada perkembangannya, pola ini diadopsi dan diteliti oleh banyak pihak, sehingga saat ini pola sylfofishery cukup dikenal luas dan menjadi salah satu pola yang dikembangkan banyak pihak dalam upaya rehabilitasi mangrove
Pola sylvofishery diterapkan pada area mangrove terdegradasi dengan memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang memiliki ketergantungan atas tambak sebagai sumber penghidupan mereka.
1)Pola Tanam Tumpangsari (sylvofishery). Pola tanam tumpangsari atau sylfofishery adalah penanaman mangrove di area tambak (area mangrove yang telah mengalami perubahan fungsi menjadi area tambak). Pola ini dilakukan dengan menanam mangrove di tanggul dan atau pelataran tambak. Pemilihan pola tanam pada area pelataran tambak, harus memperhatikan jenis komoditas yang diusahakan di tambak, yaitu ikan (bandeng/nila/bawal/jenis lain), udang dan kepiting. Penyesuaian ini perlu dilakukan untuk menghitung ruang tumbuh komoditas utamanya terkait dengan kebutuhan sinar matahari untuk pertumbuhan komoditas tersebut.
Disamping itu, harus diperhatikan bahwa setelah berumur >3 tahun, akar nafas mangrove akan mulai terbentuk dengan diameter + 1 meter. Dengan tajuk tanaman yang juga mulai terbentuk, dimungkinkan bahwa survival rate mangrove yang ditanam pada area pertambakan + tersisa sebesar 55%.
Dikenal  empat pola penanaman yaitu empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Pada pola penanaman empang parit, empang parit terbuka dan komplangan, mangrove ditanam di pelataran tambak, sedang untuk pola kao-kao, mangrove ditanam secara merata pada pematang tambak dan atau pada sepanjang pinggir pelataran tambak.
Untuk pola empang parit tradisional, mangrove ditanam di seluruh pelataran tambak. Pada pola ini, diharapkan pemulihan ekosistem tambak terjadi dengan cepat dengan terdekomposisinya seresah daun mangrove menjadi humus yang memicu pertumbuhan lumut dan detritus yang menjadi pakan utama ikan/udang/kepiting.  Adapun pada pola empang parit terbuka, mangrove ditanam di pelataran tambak dalam bentuk jalur yang dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak bagi ikan/udang/kepiting, dan untuk memudahkan petambak melakukan panenan atas komoditas yang dibudidayakan.
Khusus untuk pola kao-kao perlu dipertimbangkan kebutuhan petambak untuk melakukan pengerukan parit tambak dan juga harus diupayakan agar keberadaan akar nafas tidak merusak parit tambak.

 

Gb : Sylfofishery dalam pengelolaan tambak (Sumber : Petunjuk Teknis Rehabilitasi Mangrove, BRGM, 2022
Gb : Sylfofishery dalam pengelolaan tambak (Sumber : Petunjuk Teknis Rehabilitasi Mangrove, BRGM, 2022
Catatan penting yang perlu diperhatikan dalam penanaman mangrove di area tambak (di pelataran dan di parit) adalah proses dekomposisi seresah mangrove yang cenderung lambat. Seresah yang tidak segera terdekomposisi ini berpotensi untuk melepaskan kandungan tanin nya dan akan mengganggu produktivitas tambak. Untuk itu, perlku dipertimbangkan pemilihan jenis mangrove yang seresahnya mudah terdekomposisi  (rhizophora dan avicennia) dan  apabila dimungkinkan penggunaan enzym katalisator yang dapat mempercepat proses dekomposisi seresah.

2)Associated Mangrove Aquaculture (AMA). Dilaksanakan dengan membuat sabuk hijau (green belt) pada area berhadapan laut dan sungai. Lebar sabuk hijau pada sempadan pantai berkisar antara 100 -- 200 meter, sedangkan pada sempadan sungai berkisar 10 -- 20 meter.

Gambar : AMA dengan 3 tambak (sumber : Rejeki, 2022)
Gambar : AMA dengan 3 tambak (sumber : Rejeki, 2022)
Lebar sabuk hijau dalam AMA juga sangat ditentukan oleh luas tambak yang dilindungi. Sabuk hijau selebar 5 meter dan sepanjang 20 meter, dibutuhkan untuk melindungi tambak seluas maksimal 2 hektar. Perbandingan luas sabuk hijau dan area tambak yang dilindungi maksimal pada 80:20 dan optimal pada 50:50

Provinsi Kalimantan Utara adalah salah satu provinsi yang kawasan ekosistem mangrove nya sebagian besar beralih fungsi menjadi tambak. Diketahui bahwa hasil tambak Kaltara (khususnya udang windu) merupakan komoditas ekspor yang memberikan sumbangan cukup besar bagi PAD setempat.
Dalam perjalanan penulis ke beberapa lokasi di Provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur, para petambak menyampaikan bahwa rata-rata setelah 10 tahun dibangun, umumnya terjadi penurunan produktivitas tambak, mengingat tambak di Kaltim dan Kaltara adalah tambak tradisional yang mengandalkan lumut (algae) untuk pakan ikannya. Terdapat pola yang berbeda dalam pengelolaan tambak, yaitu untuk budidaya ikan, dibutuhkan algae yang melimpah  untuk pakan alami ikan (sehingga secara otomatis pertumbuhan algae akan dikendalikan oleh ikan yang dibudidayakan), sedangkan untuk udang windu, keberadaan algae cenderung dihilangkan karena menghalangi pertumbuhan udang. Udang windu tidak memakan algae,  tetapi pakan udang windu adalah plankton yang akan tumbuh baik pada kondisi substrat yang barus. Dalam jumlah terbatas algae dapat mensuplai oksigen, tapi dalam jumlah berlebih akan sebaliknya dan dapat menjadi indikasi beberapa jenis mineral tertentu (yang mungkin berasal dari sisa pupuk pada saat persiapan pembuatan tambak) yang akan mencemari tambak.
Kebutuhan atas peningkatan kembali produktivitas perikanan tambaknya lah yang mendorong petambak mulai kembali menanam mangrove pada tambak yang dikelolanya. Hasil penelitian Hardy E dkk (2023), menyebutkan bahwa panen per hektar tambak non sylvofishery polykultur hanya memberikan pendapatan sebesar + Rp 26 juta per tahun, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tambak sylvofishery polykultur yang mampu memberikan pendapatan mencapa + Rp 270 juta per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa untuk tambak tradisional rata-rata hanya memberikan pendapatan sebesar + Rp 52 juta per hektar pertahun, sedangkan pada tambak komplangan (penanaman mangrove pada tambak pada bidang tersediri, sehingga mangrove berfungsi untuk menjernihkan air tambak) menghasilkan pendapatan sebesar + Rp 109 juta per hektar per tahun
Hasil lain yang tak kalah pentingnya adalah kepiting. Pada saat ini, kesepakatan di tingkat petambak, kepiting adalah hasil samping tambak, yang merupakan bagian tambahan upah bagi para penjaga/pekerja tambak. Padahal hasil kepiting dari tambak sylvofishery cukup bernilai ekonomi tinggi. Dengan rata-rata diperoleh kepiting sejumlah +1kg/hari per hektar tambak (dengan harga rata-rata Rp 100.000,-/kg), maka rata-rata dapat diperoleh penghasilan dari kepiting Rp 200 juta per hektar per tahun.
Tidak berlebihan apabila disimpulkan bahwa sylvofishery berkaitan erat dengan pemenuhan ketahanan pangan, khususnya dari perikanan budidaya.

PUSTAKA

Anonim, Laporan Akhir Kajian Valuasi Ekonomi Rehabilitasi Mangrove, 2022, BRGM-Fahutan UGM, Jakarta
Anonim, Renops PRM TA 2022, KLHK, Jakarta
Anonim, Petunjuk Teknis Rehabilitasi Mangrove BRGM, 2022, Jakarta
Aslan, Rahman AF., Robeson SM., Ilman M., Land-use dynamics associated with mangrove deforestation for aquaculture and the subsequent abandonment of ponds, Science of The Total Environment, 2021
Hardi, EH., Susmiyati HR., Diana R., Paupi., Agriandini., Saptiani G., Asikin AN., Safitri MA., Sihite D., Agustina, A Comparison of the Silvofishery Models for Mangrove Restoration in East Kalimantan., BIC 2022, AEBMR 235, -- 614-626, 2023
Penerapan Teknologi Tepat Guna pada Tambak Ramah Lingkungan di Ekosistem Mangrove, Makalah,  Wetland, Jakarta, 2023
Rejeki S., Prof., Redesign & Rezeizing Tambak di Kawasan Mangrove, Makalah, Jakarta 2022
Utari, AD. Mangove dan Pengelolaannya, BRGM, Jakarta, 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun