Mohon tunggu...
Ayu Dewi
Ayu Dewi Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Pemerhati Kehutanan (Gambut dan mangrove)

Latar belakang Pendidikan dan pengalaman kerja saya adalah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Memulihkan, Meningkatkan dan Mempertahankan Mangrove di Indonesia

5 Desember 2024   16:15 Diperbarui: 5 Desember 2024   16:23 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gb Rehabilitasi Mangrove di Pulau Bangka th 2021 (Sumber : BRGM)

Peta mangrove Nasional (dengan walidata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tahun 2023 menyatakan bahwa luas mangrove Indonesia tercatat seluas 3.442.614 hektar  mangrove existing dan 777.636 ha potensi habitat mangrove. Mangrove existing merujuk pada pengertian ekosistem mangrove  yang sampai dengan saat ini masih berbentuk ekosistem mangrove. Mangrove existing ini berdasarkan kerapatannya dibedakan atas mangrove jarang seluas 70.209 hektar, mangrove dengan kerapatan sedang seluas 155.716 hektar dan mangrove dengan kerapatan lebat seluas 155.716 hektar. Mangrove lebat, adalah suatu tipe hutan (komunitas vegetasi khas) yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, dengan persentase kerapatan tajuk >70%. Mangrove sedang, yaitu suatu tipe hutan (komunitas vegetasi khas) yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, dengan persentase kerapatan tajuk 30 - 70%. Mangrove jarang, yaitu suatu tipe hutan (komunitas vegetasi khas) yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, dengan persentase kerapatan tajuk <30%
Adapun untuk potensi habitat mangrove adalah area-area yang berdasarkan sejarahnya merupakan ekosistem mangrove akan tetapi saat ini telah mengalami perubahan penggunaan lahan atau endapan sedimen yang membentuk area yang memungkinkan untuk ditumbuhi mangrove. Potensi habitat mangrove ini dibedakan atas area terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul. Areal terabrasi, yaitu bagian habitat mangrove yang sebelumnya tidak ditumbuhi mangrove, yang hilang dikarenakan proses marin berupa pengikisan karena tenaga gelombang atau arus laut.
Mangrove terabrasi, yaitu bagian habitat mangrove yang sebelumnya ditumbuhi mangrove, yang hilang dikarenakan proses marin berupa pengikisan karena tenaga gelombang atau arus laut. Lahan terbuka, yaitu lahan tanpa tutupan vegetasi baik alamiah maupun non alamiah dan berasosiasi dengan ekosistem mangrove (di daerah pantai atau sekitar muara sungai yang terpengaruh pasang surut).
Tambak, yaitu lahan yang dibangun untuk tujuan budidaya perikanan atau penggaraman, yang dialiri/diisikan dengan payau/laut, dimana sebelumnya diidentifikasi sebagai ekosistem mangrove. Tanah timbul, yaitu lahan tanpa tutupan vegetasi, berupa endapan lumpur yang terjadi secara alamiah karena proses marin atau fluvio-marin, dan berada dihabitat mangrove.
Berdasarkan data yang ada, diasumsikan akan terjadi deforestasi ekosistem mangrove rata-rata seluas 26.114 hektar/tahun. Artinya, pada tahun 2030 diduga akan terjadi deforestasi ekosistem  mangrove sseluas 261.140 hektar. Kondisi ini sekaligus menjadi masukan untuk pelaksanaan rehabilitasi mangrove, bahwa ada sekitar 261.140 ha mangrove yang terancam hilang pada tahun 2030 dan harus dipertahankan atau dicegah.

Berdasarkan status dan fungsi kawasannya, ekosistem mangrove dikelola oleh institusi/pihak yang berbeda. Aturan perundangan yang diacu adalah UU 5/1990, UU 41/1999 dan terbaru adalah UU 23/2014. Ekosistem mangrove dalam Kawasan hutan dikelola oleh Pemerintah (Pusat dan daerah) sesuai kewenangannya, sedangkan ekosistem mangrove pada Kawasan hutan produksi yang telah dibebani ijin penggunaan Kawasan (konsesi), maka tanggungjawab pengelolaannya adalah pada pemegang konsesi terkait.
Untuk ekosistem mangrove di luar Kawasan (areal penggunaan lain), pihak yang berwenang adalah Pemerintah Daerah (apabila merupakan tanah negara), masyarakat (hak milik) dan komunitas adat (tanah adat).
 Dalam prakteknya,  pengelolaan ekosistem mangrove tidak bisa hanya berfokus pada rehabilitasi (kegiatan tanam-menanam) atau pun kegiatan yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kelestarian ekosistem, namun juga dituntut menjangkau kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengembangan sosial dan kelembagaan. Hal ini selaras dengan definisi rehabilitasi sebagaimana disebutkan dalam  Ketentuan Umum PP 26 tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang menyatakan bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.Berdasarkan PP tersebut,  kegiatan rehabilitasi mangrove dapat dibedakan dalam tiga upaya, yaitu memulihkan (menanami Kembali ekosistem mangrove yang rusak atau alih fungsi), meningkatkan (menambah dan memperkaya jenis mangrove dalam satu kesatuan ekosistem, serta mempertahankan (menjaga Kawasan mangrove yang lebat/baik dari ancaman dan gangguan yang dapat berakibat merusak atau menghilangkan ekosistem mangrove di suatu wilayah.
Pengelolaan ekosistem mangrove tersebut dilakukan dalam beberapa kegiatan sebagai berikut
a.Redesign Habitat
Redesign habitat merupakan kegiatan perencanaan untuk menataulang areal mangrove yang akan direhabilitasi sesuai dengan kondisi eksistingnya. Kegiatan redesign bertujuan untuk menyiapkan rancangan hidrologi, bangunan sipil teknis / konservasi tanah yang sesuai untuk mengembalikan kondisi tata air pada areal habitat mangrove yang rusak utamanya pada areal tambak serta untuk menentukan pola tanam yang paling sesuai berdasarkan kondisi area tanam (salinitas, zonasi dan lokasi tanam)
b.Reklamasi dan Rehabilitasi
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya untuk memperbaiki kondisi lahan yang terdegradasi karena terbukanya lapisan lahan/tanah yang disebabkan abrasi, pengambilan substrat yang mengakibatkan hilangnya lapisan substrat tertentu agar sesuai sebagai habitat mangrove. Fokus utamanya adalah perbaikan saluran air dan tanggul agar periode genangan pasang-surut pada lahan yang akan ditanami menjadi normal kembali, dan rekayasa teknis untuk menangkap dan mengakumulasi sedimen. Adapun rehabilitasi merupakan  kegiatan penanaman kembali area mangrove jarang, sedang dan area potensi mangrove. Kegiatan ini berfocus pada kegiatan penanaman jenis-jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi area tanam (salinitas, zonasi dan lokasi tanam)
c.Enrichment
Kegiatan ini merupakan upaya untuk menambah keragaman jenis mangrove. Kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat flora fauna tertentu. Pelaksanaan enrichment melalui penanaman jenis-jenis mangrove dengan memperhatikan kesesuaian zonasinya.
d.Empowering
Kegiatan empowering adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kelembagaan dan keberdayaan masyarakat sekitar ekosistem mangrove, sehingga mereka secara aktif dan sadar untuk ikut melakukan upaya untuk melestarikan dan mengoptimalkan manfaat ekosistem mangrove. Melalui kegiatan empowering, masyarakat diberdayakan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove melalui pemanfaatan terbatas, baik untuk hasil hutan bukan kayu (madu dan sebagai sumber produk-produk turunan mangrove) maupun melalui jasa lingkungan (ecotourism) dan penelitian

Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove, dikenal beberapa  pola penanaman. Penentuan pola penanaman yang tepat harus dilakukan dengan mempertimbangkan pola yang paling sesuai untuk kondisi tersebut dan tujuan pengelolaannya, baik secara ekologi, ekonomi dan social budaya. Kondisi pasang surut, substrat, arah aliran dan jenis lumpur merupakan prasayarat tumbuh mangrove yang harus dipenuhi.  Penting untuk dilihat tujuan akhir dari upaya rehabilitasi mangrove, apakah sekedar untuk aforestasi ataukah reforestasi.  Disamping itu perlu diihat kelembagaan pengelola mangrove setelah dilakukan rehabilitasi. Keberadaan kelembagaan pengelola ini menjadi syarat mutlak keberhasilan upaya rehabilitasi hutan dan lahan (mangrove) karena kelembagaan ini lah yang akan menjadi pengelola dan penjaga dan pengolah manfaat dari ekosistem mangrove yang telah terbentuk.  
Memperhatikan tujuan-tujuan diatas, dikenal beberapa pola-pola penanaman  mangrove, antara lain pola tanam murni, pola tanam sylvofishery serta percepatan suksesi.  Pola tanam murni adalah pola tanam mangrove yang dilakukan pada area potensi mangrove yaitu area tanah timbul, mangrove terabrasi, area terabrasi dan lahan terbuka. Pola tanam murni utamanya dilakukan pada area mangrove dengan fungsi lindung. Pada pola tanam murni, tujuan akhirnya adalah terbentuknya  ekosistem mangrove yang kompak yang dapat berfungsi sebagai pelindung daratan di belakangnya dari hantaman gelombang ombak yang dapat menyebabkan abrasi. Pola tanam murni yang dikenal saat ini antara lain pola tanam merata/strip/jalur, pola tanam rumpun berjarak dan pola tanam pengkayaan
Adapun pola sylvofishery adalah pola rehabilitasi mangrove yang dilakukan pada area ekosistem mangrove yang telah dialihfungsikan menjadi tambak.  Pola ini diterapkan pada area mangrove terdegradasi dengan memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sekitar yang memiliki ketergantungan atas tambak sebagai sumber penghidupan mereka. Dikenal pola sylvofishery tumpangsari dan AMA (Associated Mangrove Aquaculture)
Untuk pola tumpangsari, dikenal  empat pola penanaman yaitu empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao. Pada pola penanaman empang parit, empang parit terbuka dan komplangan, mangrove ditanam di pelataran tambak, sedang untuk pola kao-kao, mangrove ditanam secara merata pada pematang tambak dan atau pada sepanjang pinggir pelataran tambak.
Untuk pola empang parit tradisional, mangrove ditanam di seluruh pelataran tambak. Pada pola ini, diharapkan pemulihan ekosistem tambak terjadi dengan cepat dengan terdekomposisinya seresah daun mangrove menjadi humus yang memicu pertumbuhan lumut dan detritus yang menjadi pakan utama ikan/udang/kepiting.  Adapun pada pola empang parit terbuka, mangrove ditanam di pelataran tambak dalam bentuk jalur yang dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak bagi ikan/udang/kepiting, dan untuk memudahkan petambak melakukan panenan atas komoditas yang dibudidayakan.
Khusus untuk pola kao-kao perlu dipertimbangkan kebutuhan petambak untuk melakukan pengerukan parit tambak dan juga harus diupayakan agar keberadaan akar nafas tidak merusak parit tambak.
Adapun pola sylvofishery AMA, dilaksanakan dengan membuat sabuk hijau (green belt) pada area berhadapan laut dan sungai. Lebar sabuk hijau pada sempadan pantai berkisar antara 100 -- 200 meter, sedangkan pada sempadan sungai berkisar 10 -- 20 meter. Lebar sabuk hijau dalam AMA juga sangat ditentukan oleh luas tambak yang dilindungi. Sabuk hijau selebar 5 meter dan sepanjang 20 meter, dibutuhkan untuk melindungi tambak seluas maksimal 2 hektar. Perbandingan luas sabuk hijau dan area tambak yang dilindungi maksimal pada 80:20 dan optimal pada 50:50
Pada rehabilitasi pola percepatan suksesi, rehabilitasi dilaksanakan pada daerah yang berdasarkan kondisi biofisik dan geomorfologisnya  akan lebih sesuai jika dibantu percepatan suksesi buatan misalnya pada daerah yang terdapat sedimentasi dan terlindung dari hempasan ombak besar. Benih ditabur/ditanam pada lokasi yang sudah dibatasi dengan pembatas atau dilindungi oleh pagar bambu atau bahan lainnya yang mampu melindungi benih yang diletakkan. Tujuannya adalah untuk menjerat lumpur, atau hara dan sesuai dengan media pasir serta agar benih tetap berada pada lokasi yang disiapkan tidak hanyut. Dalam percepatan suksesi, umumnya benih yang ditabur adalah jenis-jenis pioneer, atau jenis Avicennia dan Sonneratia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun