Hari-hari ini kita banyak mendengar istilah nilai ekonomi karbon ataupun nilai ekonomi lingkungan. Istilah-istilah ini menjadi menarik karena mengungkapkan nilai dari sesuatu barang atau jasa yang selama ini diabaikan. Nilai ekonomi karbon ramai diperbincangkan ketika dalam peresmian IDX Carbon Exchange tanggal 26 September 2023, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa potensi nilai perdagangan karbon dapat mencapai Rp 3.000 triliun. Potensi ini berasal dari serapan emisi karbon baik di hutan tropis, hutan mangrove maupun dari lahan gambut.
Sedangkan nilai ekonomi lingkungan mulai ramai dikenal ketika kasus korupsi tambang timah di Bangka diberitakan telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 271 Trilyun. Dikutip dari pemberitaan dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Senin (19/2/2024), ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) menyampaikan bahwa  kerugian lingkungan ini terdiri dari. "Di kawasan hutan sendiri, kerugian lingkungan ekologisnya mencapai Rp157,83 triliun, ekonomi lingkungannya Rp60,276 triliun, dan biaya pemulihannya sekitar Rp5,257 triliun. Total kerugian untuk kawasan hutan ini mencapai Rp223.366.246.027.050," ujarnya saat konferensi pers
Pernyataan-pernyatan diatas membuat public baru menyadari bahwa nilai ekonomi dari lingkungan itu luar biasa besar. Karena selama ini public hanya memahami nilai ekonomi lingkungan dari nilai guna langsung, misal, untuk hutan hanya dihitung nilai kayu nya, tidak dihitung dari nilai sumberdaya genetic, nilai air, nilai karbon, nilai estetika ataupun nilai-nilai lainnya yang terkandung dalam suatu landskap ekosistem hutan. Sedangkan sesungguhnya, nilai ekonomi dalam ilmu ekonomi adalah  nilai manfaat yang diberikan barang jasa kepada konsumen. Dengan kata lain, nilai ekonomi berupa nilai guna (langsung, tak langsung dan nilai pilihan) serta nilai bukan guna (nilai pilihan, nilai keberadaan dan nilai bukan guna lainnya)
Untuk menghitung nilai ekonomi hutan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 15/2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Â Dalam peraturan tersebut diatur metode valuasi ekonomi total sumberdaya alam lahan dan hutan/SDALH dan nilai ekonomi kerusakan lingkungan. Disampaikan bahwa untuk menghitung nilai ekonomi total SDALH, dapat dilakukan dengan menggunakan nilai beberapa komponen penggunaan SDALH yang dominan (misal nilai kayu, nilai hasil hutan non kayu dan penggunaan non ekstraktif lainnya seperti pariwisata, Pendidikan, penelitian, jasa lingkungan/karbon, air). Adapun dalam perhitungan nilai ekonomi kerusakan lingkungan, biaya kerusakan dilihat dari dampak lingkungan yang timbul akibat suatu kegiatan. Dampak lingkungan tersebut dapat dibedakan dalam poerubahan produksi yang dapat terukur dan perubahan kualitas lingkungan (antara lain habitat, kualitas udara dan air, efek kesehatan dan rekreasi)
Penetapan nilai ekonomi total maupun nilai ekonomi kerusakan lingkungan dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar dan pendekatan non pasar. Pendekatan harga pasar dapat dilakukan melalui pendekatan produktivitas, pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan nilai yang hilang (foregone earning), dan pendekatan biaya kesempatan (opportunity cost). Sedangkan pendekatan harga non pasar dapat digunakan melalui pendekatan preferensi masyarakat (non-market method). Beberapa pendekatan non pasar yang dapat digunakan antara lain adalah metode nilai hedonis (hedonic pricing), metode biaya perjalanan (travel cost), metode kesediaan membayar atau kesediaan menerima ganti rugi (contingent valuation), dan metode benefit transfer.
Nisakanen dalam Nurfatriani (2006) menjelaskan bahwa konsep nilai ekonomi total dan metode penilaian ekonomi mencoba untuk memberikan "nilai" terhadap seluruh manfaat yang dihasilkan hutan baik yang bersifat diperdagangkan dan memiliki harga pasar maupun yang tidak memiliki harga pasar. Dengan diketahuinya nilai ekonomi total dari sumberdaya hutan, diharapkan akan menciptakan pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih efisien karena manfaat hutan telah diperhitungkan secara memuaskan dalam perhitungan ekonomis.
Selama ini, perhitungan nilai ekonomi hutan hanya dihitung dari setoran PNBP yang sebagian besar bersumber dari  penggunaan Kawasan, pelatihan, dan denda. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan komposisi sektor kehutanan hanya Rp 5,66 triliun terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP (yang pada 2021 mencapai Rp 452 triliun).  Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk sector Kehutanan diatur dalam PP No 36/2024 tentang  jenis dan tarif atas Jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian lingkungan hidup yang mencabut PP No 12/2014.
Satu hal yang menarik bahwa selama ini PNBP sector kehutanan hanya dihitung dari sumbangan produk mentah (log kayu). Hasil olahan kayu (antara lain kertas, plywood, particle board)  tercatat sebagai produk dari sector industry. Hasil non kayu  (antara lain kopi, pinang, madu dan getah) tercatat sebagai produk sector pertanian dan perkebunan. Jasa wisata alam dikenal sebagai produk dari sector pariwisata. Hasil tambang (batu bara, panas bumi) merupakan produk dari ESDM. Kehutanan dianggap sector hulu yang hanya menyumbangkan kayu dan ketika terjadi deforestasi, banjir dan tanah longsor,  maka kehutanan menjadi sector yang dianggap abai dan lalai atas prinsip-prinsip kelestarian.
Catatan-catatan ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Menteri Keuangan "benar" dalam pola pikir orang awam. Dan semuanya bermuara kembali ke paragraph awal, sector kehutanan tidak pernah berhitung atas nilai total ekonomi atas sumberdaya alam hutan (mungkin hasil penelitian sudah banyak dilakukan, tapi tidak ditindaklanjuti dengan  sosialisasi dan edukasi)
Kesimpulannya, sudah saatnya sector kehutanan menata ulang pola pikir nya atas nilai ekonomi total sumberdaya hutan yang dikelolanya. Kehutanan memiliki nilai total ekonomi yang lengkap, mulai dari nilai guna (fisik dan jasa), nilai sosial dan juga nilai budaya. Karena Indonesia adalah negara yang sampai dengan saat ini masih mengandalkan sumberdaya alam (hutan) sebagai salah satu modal dasar pembangunan (mengingat luas Kawasan hutan Indonesia adalah 125,76 juta hektar).
Pustaka :
Nurfatriani, F., KONSEP NILAI EKONOMI TOTAL DAN METODE PENILAIAN SUMBERDAYA HUTAN
       Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2006
Anonim, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 15/2012 tentang Panduan Valuasi  Ekonomi Ekosistem Hutan, Jakarta, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H