Peraturan Pemerintah No 57/2016 menyebutkan bahwa Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa_sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 55 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa. Lebih lanjut disebutkan bahwa  ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi .dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.
Lahan gambut tersebar di 175 negara, meliputi 400 jutra hektar atau 3% dari total luas daratan dunia. Dari angka tersebut, 42 juta hektar diantaranya (11%) adalah  lahan gambut tropis. Indonesia memiliki  luas lahan gambut 14,9 juta hektar (7,8% dari total luas wilayah) yang menjadikannya pemilik gambut tropis terluas di dunia. Tercatat + 6,4 juta hektar lahan gambut diketemukan di Sumatera, + 4,7 juta hektar di Kalimantan dan + 3,6 juta hektar di Papua.
Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan gambut sebagai salah satu ekosistem penting selain terumbu karang, karst, padang lamun dan mangrove. Sebagai tindak lanjutnya telah terbit Peraturan Pemerintah No 71/2014 yang telah dirubah menjadi PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pelaksanaan pengelolaan lahan gambut dilakukan secara landscape mengacu pada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG). Kesatuan Hidrologis Gambut adalah Ekosistem Gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa. Konsolidasi pengelolaan lahan gambut dalam satu KHG Â penting untuk dilakukan mengingat penanggungjawab pengelolaan lahan gambut berbeda-beda berdasarkan status lahannya. PP 57/2016 jo PP 71/2014 mengamanatkan bahwa penanggungjawab Kawasan sekaligus pelaksana restorasi gambut adalah sebagai berikut :
-Pada kawasan konservasi adalah UPT Kementerian Kehutanan, UPTD Tahura dan Masyarakat, LSM
-Pada hutan lindung adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan Masyarakat
-Pada kawasan hutan produksi untuk non konsesi dipegang oleh Dinas Kehutanan Provinsi, sedang untuk konsesi dipegang oleh pemegang izin konsesi
-Pada areal penggunaan lain untuk konsesi dilakukan oleh pemegang izin konsesi dan non konsesi dipegang oleh dinas/pemda terkait dan masyarakat serta LSM
Ekosistem gambut memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial yang sangat penting. Manfaat gambut secara ekologi beragam, mulai dari menjadi penjaga stabilitas sistem tata air kawasan (hidrologis), menyimpan karbon dan sebagai habitat keanekaragaman hayati (biodiversitas). Gambut diketahui mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon sebesar 46 gigaton atau 8-14 persen dari cadangan karbon gambut dunia.
Gambut dikenal sebagai ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Ditemukan sekitar 35.000 - 40.000 spesies pada ekosistem gambut Indonesia. Kalimantan dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati ekosistem gambut terbesar. Dan Sumatera memiliki lebih dari 261 jenis flora. Keanekaragaman hayati ini dapat dijumpai pada kawasan konservasi taman nasional. Beberapa jenis kayu di ekosistem gambut yang bernilai ekonomi tinggi di antaranya adalah ramin, pulai, terantang, geronggang, punak, bintangur, balam, nyatoh dan jelutung. Disamping itu, lahan gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang dapat dikonsumsi  seperti gabus, toman, jelawat dan tapah
Kerusakan ekosistem gambut utamanya terjadi akibat konversi lahan untuk tanaman pangan, perkebunan dan hutan tanaman. Konversi lahan ini juga disertai dengan pembuatan kanal-kanal yang berfungsi untuk mengeluarkan cadangan air dari kubah gambut, sehingga area gammbut tersebut dapat ditanami untuk tanaman tahunan dan atau semusim. Penelitian UGM tahun 2017 menemukan bahwa diperkirakan panjang kanal gambut mencapai lebih dari 239.803 km (atau setara dengan lebih dari 6 kali keliling bumi).
Pengelolaan lahan gambut yang melampui daya dukungnya inilah yang mengakibatkan kejadian kebakaran besar di tahun 2015.  Catatan menunjukkan bahwa luas area gambut terbakar selama tahun 2015 s.d. 2023 mencapai 875.000 ha. Kebakaran pada area gambut ini berpotensi melepaskan emisi karbon sebesar  1,75 Gton (Catatan; cadangan karbon pada gambut Indonesia adalah sebesar 57 Gton atau setara dengan 285 millar USD).
Tahun 2015, kejadian kebakaran hutan dan lahan besar (yang ditengarai terjadi di Sebagian besar lahan gambut) telah menyebabkan polusi udara sebesar i2.314 (normal: <50) dengan kategori berbahaya/beracun. Transboundary haze kejadian ini  berdampak hingga ke Malaysia dan Singapura. Diperkirakan kerugian ekonomi yang terjadi mencapai Rp433 Triliun.
Profil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia menunjukkan bahwa sumber emisi terbesar sektor kehutanan masih berasal dari dekomposisi gambut yang nilainya tinggi apabila tidak dilakukan pengelolaan berkelanjutan. Dampak lain yang timbul adalah subsidensi/penurunan tanah 5-10 cm/tahun yang dapat menyebabkan banjir, kekeringan, berkurangnya cadangan air, dan gagal panen.
Kondisi-kondisi inilah yang merupakan alasan pentingnya pengelolaan lahan gambut secara benar dalam konteks penurunan emisi dalam kegiatan FOLU (Forest and Land Use) NET Sink 2030. Beberapa kegiatan pengelolaan lahan gambut yang dilaksanakan dalam kerangka FOLU Net Sink diantaranya adalah pencegahan deforestasi pada lahan gambut seluas 962.461 Ha, Â pengaturan tata air pada lahan seluas 1.674.703 Ha dan restorasi gambut pada lahan seluas 2.146.059 Ha.
Restorasi gambut adalah upaya yang dilakukan untuk mengembalikan keberfungsian tata air pada areal gambut. Upaya ini lebih dikenal dengan sebutan 3R (Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi).
Rewetting adalah upaya membangun infrastruktur restorasi gambut/IRG yang terdiri dari sekat kanal, timbunan kanal dan sumur bor guna menjaga kebasahan area gambut. Pembangunan  sekat kanal bertujuan  untuk menaikkan daya simpan (retensi) air pada badan kanal dan sekitarnya dan mengurangi mencegah penurunan permukaan air di lahan Gambut sehingga lahan Gambut di sekitarnya tetap basah dan sulit terbakar. Prinsip kerja sekat kanal adalah menahan dan menampung air selama mungkin di dalam wilayah KHG.
Kegiatan timbun kanal merupakan infrastruktur restorasi gambut yang bertujuan  untuk menutup atau mematikan kanal-kanal pada fungsi lindung dan kawasan konservasi. Tujuan timbun kanal adalah untuk menahan dan menampung air selama mungkin di dalam wilayah KHG sehingga lahan gambut di sekitarnya tetap basah.
Adapun tujuan pembangunan sumur bor adalah untuk mengatasi kelangkaan sumber air permukaan yang umumnya terjadi pada musim kemarau. Pada kondisi tersebut, umumnya muka air tanah gambut turun drastis dan sumber air permukaan alami yang terdapat di kanal/parit, anak sungai, sungai, dan danau mengalami kekeringan dan jangkauannya sangat jauh. Fungsi sumur bor dalam upaya restorasi gambut adalah menyediakan sumber air untuk pembasahan gambut khususnya pada musim kemarau untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, termasuk untuk pemadaman awal kebakaran lahan Gambut.
Kegiatan rewetting lainnya juga dilakukan melalui Operasi Pembasahan (Operasi Pembasahan Gambut Rawan Kebakaran/OPGRK dan Operasi Pembasahan Cepat Lahan Gambut Terbakar/OPCLGT) dan Teknik Modifikasi Cuaca/TMC. Kegiatan OPGRK dan OPCLGT menjadi bagian dari operasi pembasahan lahan gambut pada musim kemarau dan pada saat terjadi kebakaran. Kegiatan OPGRK dan OPCLGT bertujuan untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan yang ada di wilayah restorasi gambut.
Untuk TMC, kegiatan ini dilakukan oleh beberapa institusi ketika terjadi musim kemarau dan diprediksi rawan kebakaran hutan dan lahan. Maksud kegiatan ini untuk meningkatkan curah hujan pada daerah rawan kebakaran guna membasahi lahan gambut, sedangkan tujuannya adalah untuk meminimalkan bencana alam kebakaran lahan gambut pada musim kemarau.
Revegetasi adalah upaya pemulihan tutupan lahan pada ekosistem gambut melalui penanaman jenis tanaman asli pada fungsi lindung atau dengan jenis tanaman lain yang adaptif terhadap lahan basah dan memiliki nilai ekonomi pada fungsi budidaya. Tujuan kegiatan revegetasi adalah merehabilitasi vegetasi pada KHG yang mengalami kerusakan atau pada area bekas terbakar. Revegetasi dilakukan pada areal yang tidak dibebani izin (non konsesi) dan areal kawasan hutan dengan kategori tutupan lahan berupa hutan, semak belukar, dan tanah terbuka. Beberapa jenis tanaman asli area gambut diantaranya adalah ramin, sagu, pulai, jelutung, durian, getah sundi, jambuan, geronggang, kayu hitam sulawesi, dan pala.
Revitalisasi sumber mata pencaharian atau lebih dikenal sebagai  merupakan upaya mengembangkan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya ekosistem gambut secara berkelanjutan dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada. Revitalisasi sebagai bagian dari kegiatan restorasi gambut dilaksanakan dengan cara mengembangkan kegiatan sumber mata pencaharian alternatif dan berkelanjutan untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan gambut yang dikelola. Kegiatan ini bertujuan selain untuk memberikan alternatif mata pencaharian masyarakat, juga sebagai kompensasi terhadap adanya aktivitas pembangunan IRG yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian masyarakat setempat, selain itu bertujuan untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di provinsi prioritas BRGM.
Jenis kegiatan revitalisasi disesuaikan dengan minat dan pasar yang dapat berupa  kegiatan berbasis lahan, kegiatan berbasis air, kegiatan berbasis jasa lingkungan, dan kegiatan pengolahan komoditas
Kemandirian desa menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan upaya restorasi gambut. Untuk itulah dalam restorasi gambut, dilakukan kegiatan Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG). Â DMPG adalah kerangka program untuk intervensi pembangunan pada desa-desa/kelurahan di dalam dan sekitar KHG, yang menjadi target restorasi gambut. DMPG dibangun atas dasar konsep mata penghidupan masyarakat desa yang berkelanjutan (Sustainable Rural Livelihood). Pendekatan yang digunakan adalah menjalin kerjasama antar desa yang ada dalam satu bentang alam KHG. Dengan berbasis pada kawasan perdesaan, maka perlu didorong kerja sama antar desa dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Pemerintah desa perlu didampingi agar mampu menjalin kerjasama secara kolaboratif dengan desa-desa lainnya dan dengan berbagai pihak strategis lainnya.
Program DMPG mengusung paradigma restorasi gambut berbasis pembangunan pedesaan dengan dua tujuan sekaligus. Pertama, menyiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan tidak dirugikan dari kegiatan restorasi gambut. Kedua, memastikan keterpaduan dan keberlanjutan kegiatan restorasi gambut melalui pengintegrasian ke dalam pembangunan desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H