Mohon tunggu...
ayu diah cempaka
ayu diah cempaka Mohon Tunggu... -

I'm a school journalist and an amateur filmmaker :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bocah di Barak Padang Pasir

12 Oktober 2010   08:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:29 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lihatlah bagaimana induk ayam mencoba mengorek gundukan pasir, mencari ulat – ulat kecil, atau sekedar sisa padi para petani. Bukan untuknya, tapi sekedar hadiah kecil untuk ayam – ayam kecil yang masih tertidur dalam telur.

Sementara jauh di antara riak laut, bocah – bocah kecil tengah memperebutkan sepiring roti kering. Beberapa pemuda meneriakkan kebebasan di depan gedung tak berpenghuni. Para ibu menangis di daun pintu, mengenang suaminya yang ditikam oleh orang – orang tak dikenal. Coretan di dinding, adalah kelaparan anak – anak, tentang kerinduan mereka pada taman kota yang rindang, yang setiap sore ramai oleh burung dara. Sesekali mereka memberanikan diri untuk membayangkan seragam sekolah, meja tulis juga ibu guru berkerudung cokelat yang menunggu di depan pintu kelas. Tapi saat itu juga lamunan bocah – bocah itu buyar, oleh ledakan di antara gurun pasir, suara dentuman yang telah jadi kawan sejak mereka kehilanan para ayah.

Masihkan kau mengeluh ketika harus berkenalan dengan mereka yang tak seayah denganmu? Kawan, bukan tentang siapa ayahmu dan siapa ayahnya, juga bukan tentang bagaimana kau dan dia menyebut Tuhan dengan nama yang berbeda. Sebab terlalu banyak dari kita yang kini melupakan diri sendiri. Hingga kerap merasa bahwa segala yang terbijak, adalah diri sendiri.

Dimana burung – burung senja yang tak pernah lalai memberitahu kita tentang kedatangan malam, hingga kita punya waktu untuk menahan kantuk beberapa saat sambil mendengarkan dengkur burung hantu yang bayangnya menyelinap di bawah bulan. Dahulu, kau selalu takut pada malam yang gelap dan dingin. Tapi kini, malam yang selalu kau nanti. Sebab hanya saat itu kau tak mendengar tangisan bayi – bayi yang kehabisan botol susu, kau pun tak perlu mendengar riuh caci maki laki – laki berseragam militer yang kerap memukuli ibumu yang memohon dikembalikansuaminya. Kau terlalu takut pada pagi, sebab darisana semua yang tak kau inginkan berawal. Bahkan beberapa kali kudengar kau mengeluh. Mengapa malam begitu singkat. Berilah luang untuk kami tenang lebih banyak !

Diantara gurun pasir, tak ada lagi induk ayam yang mengais sebiji padi untuk telur – telurnya yang kelak meretak perlahan. Tak ada lagi yang bisa kau pandangi kecuali pasir – pasir yang terhempas kasar, menghentak orang – orang yang tak kau kenal hingga mati sia – sia. Ya, kau hanya boleh menunggu disini. Sekali pun kau tak tahu, kapan semua usai. Bahkan mungkin takan pernah usai.

Mei, 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun