Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan ruang keberkahan yang melahirkan generasi pembelajar sejati. Salah satu sosok yang menghayati keberkahan ini hingga menginspirasi banyak orang adalah Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag. Dengan perjalanan hidup yang dimulai di Pesantren Al-Inaaroh Buntet hingga menjadi seorang rektor, beliau mengajarkan pentingnya keteguhan, doa, dan pengabdian.
Keberkahan Pesantren
Hidup dalam NaunganProf. Rosihon selama 6 tahun menata keberkahan di lingkungan Pesantren Al-Inaaroh Buntet, sebuah tempat yang sarat nilai spiritual dan moral. Kehidupan di pesantren mengajarkan beliau kesederhanaan, tanggung jawab, dan pentingnya keberkahan dalam perjalanan karirnya. Beliau mengatakan, "Kyai di pesantren itu seperti mudhaf, santri sebagai mudhaf ilaih yang selalu melekat pada mudhaf. bukan sekadar hidup untuk belajar, tetapi belajar untuk menata keberkahan, melalui sang guru."
Di pesantren, beliau rutin mengikuti kajian kitab kuning bersama para kyai sepuh dan juga menghafal nadzam alfiah. Tradisi ini, menurutnya, bukan sekadar rutinitas, melainkan latihan mental dan spiritual yang membentuk keteguhan diri.
Dari Santri ke Akademisi
Selain menyelesaikan pendidikan di pesantren, Prof. Rosihon melanjutkan perjalanan akademiknya dengan penuh semangat. Gelar magister dan doktor diraihnya, dan sejak itu ia aktif sebagai dosen, penulis, serta pembicara di berbagai forum ilmiah. Dalam karirnya, beliau selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai moral seperti yang diajarkan di pesantren.
Ketika dipercaya menjadi rektor di salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka, beliau menegaskan bahwa posisi itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Beliau pernah berkata, "Ilmu itu seperti lentera; tugas kita bukan sekadar memegangnya, tetapi menerangi jalan bagi orang lain."
Pesan Hidup yang Mendalam
Kehidupan Prof. Rosihon adalah bukti bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kerja keras, tetapi juga doa, kesungguhan, dan keberkahan dari guru serta orang tua. Dalam salah satu ceramahnya, beliau menyampaikan pesan bahwa
"(Kyai/ Guru Spiritual) Seperti sinyal yang memancarkan, kita (santri) adalah para penangkap sinyal"
Sebagai rektor, beliau terus menjadikan prinsip ini sebagai pedoman dalam peejalananan akademisnya, begitupula saat membimbing mahasiswa. Baginya, jabatan bukan untuk memperkaya diri, melainkan kesempatan untuk memberikan pengabdian yang terbaik.