PALET waktu yang membentang 79 tahun lalu, telah menorehkan pancar warna perjuangan, menghidupkan kembali kisah-kisah heroik yang tertumpuk dalam ingatan lain. Hari Santri, seperti tihtir bertalu-talu, menjadi wujud bakti setia pada bangsa, memacu semangat juang yang dilantunkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Seruan menggugat kebungkaman santri dan rakyat, bahwa “berperang menolak dan melawan pendjajah itu fardloe ain’, bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moeseoh, bagi orang jang berada dalam di luar djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah jang tjoekoep dikerjakan Sebagian sadja…” Seru Beilau.
Lingkaran 94 KM
Kalimat "lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moeseoh" mencerminkan adanya batas geografis yang menentukan wilayah kekuasaan atau pengaruh. Mereka yang berada dalam radius 94 km dari pusat kekuasaan ini, yang ditandai oleh "tempat masoek" dan "kedoedoekan moeseoh," secara simbolis terhubung dengan otoritas tersebut. Jarak ini tidak hanya menggambarkan jarak fisik, tetapi juga menunjukkan hubungan hierarkis, di mana "tempat masoek" berfungsi sebagai pintu masuk menuju pusat kekuasaan, sementara "kedoedoekan moeseoh" mungkin melambangkan pusat pengaruh atau otoritas tertinggi.
Makna kalimat ini muncul dari hubungan antar elemen dalam sistem. Lingkaran 94 km menjadi batas yang membedakan antara yang berada di bawah pengaruh kekuasaan dan yang di luar. Oposisi seperti dalam-luar dan pusat-pinggiran mengindikasikan adanya hierarki ruang dan kekuasaan, di mana orang-orang yang berada di dekat "kedoedoekan moeseoh" lebih dekat dengan kekuasaan atau pengaruh spiritual yang lebih besar.
Di tengah arus sejarah yang kerap kali gelap, fardlu ‘ain dan fardlu kifayah membentuk fondasi spiritual yang kokoh bagi perjuangan santri, yang harus dilaksanakan. Agensi kolektif mulai tumbuh, membakar semangat individu dan kelompok untuk bertindak.
Fardlu ‘ain menuntut setiap Muslim berpartisipasi, sementara fardlu kifayah membentuk tanggung jawab kolektif, di mana cukup sebagian orang yang melaksanakannya. Jihad yang terbangun ini tidak hanya menyatukan, tetapi juga menggelorakan tekad untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan.
Perang Jawa
Dalam kancah Perang Jawa, Pangeran Diponegoro dan para santri berbaris dengan gagah, bersatu padu melawan penjajah. Walau Pangeran Diponegoro ditangkap, semangat perjuangan tidak padam. Kyai Abdullah Salam dari Jombang, Kyai Umar dari Semarang, dan banyak lagi, mengukir nama mereka dalam Jaringan Ulama Nasional, terus mengobarkan api perlawanan.
Di akhir abad ke-19, sosok karismatik Syeck Nawawi Banten muncul, meneruskan jejak perjuangan Syeck Yusuf Al-Makasari, ulama besar yang tak kenal lelah melawan penjajahan. Di sudut lain, Kyai Soleh Darat bangkit, meneruskan semangat juang Kyai Umar, sedangkan Syeck Mahfud al-Tirmasi, cucu Kyai Abdul Manan, melanjutkan perjuangan Kyai Hasan Besyari. Di Cirebon, Kyai Abbas Buntet meneruskan tongkat estafet perjuangan dari Kyai Muta’ad. Syeck Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Hasbullah, keturunan Kyai Abdus Salam dari Jombang, memperkuat barisan ulama pembebas. Mereka semua, bersama ribuan kyai lainnya, menjadi pahlawan dalam sejarah, menorehkan perlawanan dengan penuh pengorbanan.
Surabaya, pada 10 November 1945, menjadi saksi bisu dari pertempuran dahsyat, di mana Laskar Hizbullah dan para santri berdiri di garda terdepan. Tidak hanya Surabaya, perlawanan juga menggema di Semarang dan Palagan Ambarawa, di mana kaum santri menyalakan bara semangat juang yang tak pernah padam. Kemenangan mereka, bukan hanya hasil dari kekuatan fisik, melainkan ketahanan moral dan spiritual yang menyatu.
Peran Santri