Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Penulis Buku Bajik Bijak Kaum Sufi, Pemuda Negarawan, HARMONI LINTAS MAZHAB: Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif. Beberapa tulisan opini terbit di Kompas.id, Koran Tempo, Detik.com, Republika.id, serta beberapa tulisan di jurnal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Klausul Kitab Sezaman

19 September 2024   09:15 Diperbarui: 19 September 2024   09:15 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERDEBATAN sengit mengenai nasab dimulai dari penelitian Kyai Imaduddin, yang menekankan pentingnya merujuk pada kitab sezaman untuk meneliti garis keturunan para habib. Kyai Imaduddin menunjukkan bahwa kitab-kitab dari abad ke-10, 11, dan 12, yang seharusnya menjadi rujukan tentang nasab, para habib di Indonesia tidak ditemukan. 

Bahkan, sumber-sumber hadits dari abad ke-3 H, di mana Ali Al Uraidhi hidup, juga tidak menyebutkan adanya rujukan mengenai nasab tersebut. Kitab tertua seperti Tahdzib al-Ansab (abad ke-5) dan Al-Sajarah Al-Mubarokah (abad ke-6) pun tidak mencatat bahwa Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.

Kitab sezaman, menurutnya, bukan sekadar saksi bisu sejarah, melainkan penjamin keakuratan informasi dan relevansi pengetahuan. Syuhudi Ismail, seorang ahli metodologi sejarah, turut memperkuat pandangan ini dengan menegaskan bahwa Sejarah ketersambungan memegang peran vital dalam menjaga keabsahan dan ketepatan silsilah keluarga dengan konteks sosial-budaya masa itu. Ia berpendapat bahwa penelitian nasab tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dapat mengakibatkan distorsi atau kesalahan dalam memahami dan menyusun garis keturunan. 

Jadi, kitab sezaman memberikan konteks krusial untuk memahami sejarah secara akurat. E.H. Carr dalam "What is History?" dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam "Lectures on the Philosophy of History" juga menekankan bahwa sumber sezaman membantu menghindari anachronism atau penempatan penggunaan elemen yang tidak sesuai dengan konteks waktu tertentu dalam karya sejarah atau sastra dan memahami perkembangan ide dan peristiwa dalam konteksnya. 

Michel Foucault, melalui "The Archaeology of Knowledge", menambahkan bahwa analisis dokumen dari periode yang relevan membangun "arsip pengetahuan" yang akurat, menegaskan pentingnya konteks dalam studi sejarah.

Bisakah Sumber Pengetahuan Terlepas dari Sejarah (A Historis)?"

Secara umum, sumber pengetahuan tidak sepenuhnya a-historis, karena sumber pengetahuan biasanya dipengaruhi oleh konteks sejarah, sosial, budaya, dan politik tempat mereka dihasilkan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa sumber pengetahuan seringkali tidak bersifat a-historis:

Pertama, Konteks Produksi; bahwa Setiap sumber pengetahuan, baik itu buku, artikel, catatan sejarah, maupun teori ilmiah, selalu diproduksi dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Konteks ini memainkan peran penting dalam membentuk perspektif, metodologi, dan isi dari sumber tersebut. Misalnya, karya ilmiah yang ditulis pada abad ke-19 akan sangat dipengaruhi oleh pemikiran, teknologi, dan pengetahuan yang tersedia pada masa itu. 

Misalnya Ibnu Sina (Avicenna), yang dikenal sebagai salah satu ilmuwan dan filsuf terbesar dalam sejarah Islam, menulis karya-karyanya dalam konteks kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam pada abad ke-10 dan ke-11. Karya-karyanya seperti "Al-Qanun fi al-Tibb" (The Canon of Medicine) dan "Kitab al-Shifa" (The Book of Healing) menunjukkan pengaruh besar dari tradisi ilmiah Yunani, Persia, dan India yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun, pemikirannya tetap dibentuk oleh konteks intelektual dunia Islam yang menekankan harmoni antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas. 

Konteks produksi juga terlihat jelas dalam karya Ibn Khaldun. "Muqaddimah", sebuah karya monumental dalam sosiologi dan sejarah, ditulis dalam situasi di mana dunia Islam tengah mengalami pergolakan politik yang besar, dengan jatuh bangunnya dinasti-dinasti dan perubahan sosial yang cepat. Ibn Khaldun mengembangkan teorinya tentang Asabiyyah (solidaritas kelompok) dan siklus dinasti dalam kerangka pemahamannya terhadap dinamika sosial dan politik pada zamannya. 

Dengan demikian, setiap sumber pengetahuan, baik dalam tradisi Islam maupun tradisi lainnya, tidak pernah terlepas dari konteks sejarah, sosial, dan budaya di mana ia diproduksi. Memahami konteks ini adalah kunci untuk memahami secara mendalam isi dan relevansi dari sumber tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun