Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Penulis Buku Bajik Bijak Kaum Sufi, Pemuda Negarawan, HARMONI LINTAS MAZHAB: Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif. Beberapa tulisan opini terbit di Kompas.id, Koran Tempo, Detik.com, Republika.id, serta beberapa tulisan di jurnal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Netralitas yang Tak Berguna

14 Agustus 2024   10:08 Diperbarui: 14 Agustus 2024   11:18 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persekusi yang terjadi di Kecamatan Rengasdengklok, di mana rombongan Kiai NU diserang oleh massa tak dikenal, menyoroti keterbatasan sikap netral dalam menghadapi kekerasan. Ketika tindakan kekerasan ini merusak fisik dan menimbulkan luka, serta menciptakan ketidakpastian dan trauma, netralitas bukanlah pilihan yang dapat diterima. Dalam konteks ini, sikap netral hanya akan memperburuk keadaan dan mengabaikan hak asasi manusia serta prinsip keadilan.

Kejadian di Rengasdengklok melibatkan serangan brutal terhadap kendaraan yang membawa Kiai NU. Serangan tersebut bukan hanya merusak mobil, tetapi juga melukai seorang santri dan anggota Banser NU. Dalam situasi seperti ini, memilih untuk tidak bertindak atau hanya bersikap netral akan membiarkan pelaku kekerasan merasa tidak terancam oleh tindakan mereka, dan justru memperpanjang penderitaan korban.

Netralitas di tengah kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah; ia justru mengabaikan tanggung jawab kita untuk melindungi mereka yang terancam. Ketika Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, menyerukan agar pelaku persekusi ditangkap dan diadili, ia tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menunjukkan bahwa netralitas dalam menghadapi persekusi adalah sikap yang keliru dan merugikan. Sikap netral akan berarti membiarkan kekerasan terus menerus merajalela tanpa ada konsekuensi bagi pelaku. Hal ini akan menciptakan preseden buruk, di mana tindakan kekerasan terhadap tokoh agama dan kelompok lainnya dapat terjadi tanpa rasa takut akan hukuman. Netralitas dalam situasi ini berarti mengabaikan keadilan dan membiarkan ketidakadilan berkembang.

Sebagaimana dinyatakan oleh Martin Luther King Jr., "Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak." Jika masyarakat dan pihak berwenang memilih untuk tetap netral dalam menghadapi persekusi di Rengasdengklok, maka mereka tidak hanya menunda keadilan tetapi juga menolak hak korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan.

Persekusi di Rengasdengklok bukan hanya tindakan kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari ketegangan sosial dan politik yang lebih luas. Seperti yang diungkapkan oleh Desmond Tutu, "Jika Anda adalah netral dalam situasi ketidakadilan, maka Anda telah memilih sisi penindas." Dalam kasus Rengasdengklok, sikap netral berarti memilih untuk tidak bertindak demi melindungi pelaku kekerasan dan merugikan korban.

Oleh karena itu, respons terhadap persekusi di Rengasdengklok harus melampaui netralitas. Kita harus mendukung tindakan hukum yang tegas, memastikan keadilan ditegakkan, dan berkomitmen untuk mengatasi akar penyebab kekerasan. Hanya dengan cara ini kita dapat menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, di mana keadilan tidak hanya menjadi impian, tetapi juga kenyataan yang dapat kita capai bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun