ORANG yang tinggal di kota meskipun tidak kaya, terlihat perlente dalam pandangan orang desa. Sebaliknya, orang desa meskipun kaya terlihat sederhana dan bersahaja bagi orang kota. Orang kaya di desa seringakali disebut juragan atau biasa dipanggil pa haji. Juragan biasanya memiliki sawah atau lahan perkebunan yang luas berhektar-hektar, mobil pick up terbuka milik juragan dijadikan kendaraan operasional, sementara untuk bepergian menggunakan mobil bermerek dan mahal. Orang kota juga seringkali dianggap berpendidikan tinggi, berwawasan yang luas serta berpengalaman. Meskipun hidup di kota sumpek, pengap, sesak, kondisi Jalanan macet, udara penuh debu dan asap kendaraan, sungai dan kali kotor penuh sampah, banjir kerap menerjang, meskipun banjir juga melanda desa, tapi tak se-histeris di kota, beritanya seolah menggemparkan. Namun, daya tarik kota bagi kaum urban, tetaplah banyak. Mereka masih beranggapan kota ladang uang, mudah didapatkan, apa saja bisa jadi duit.
Padahal, hidup di kota serba bayar, cuci piring saja airnya berbayar, apalagi buat minum. Air PAM yang berbayar diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Warga kota juga merogoh kocek lagi untuk pembelian air isi ulang (galon). Di kota tak bisa semena-mena mengunakan air tanah, karena dapat menyebabkan tenggelamnya kota, akibat tak ada penahan berupa air, sehingga menyebabkan tanah amblas. Sementara, sumber air tanah di desa masih berlimpah ruah, meskipun beberapa kasus ada yang kekeringan. Konon, menurut Mcintyre dari Imperial College London, satu-satunya sumber air bersih yang terjangkau bisa digunakan hanyalah air tanah, sebab air tanah terletak di bawah daratan dangkal, berbeda dengan air PAM hasil sulingan sungai yang masih menyisakan bakteri akibat pencemaran.
Tanah dikuasai makelar, pribumi juga terpinggirkan. Di kota gapnya tinggi, tak ada kentongan untuk memanggil kerumunan warga, agar segera merapat. Tanda datangnya bahaya yang mengintai. Di kota tak memiliki akses seenaknya menggunakan kuda, kerbau atau lainnya. Aktivitas transportasi di kota dibatasi serta diawasi. Ragam kartu yang wajib dimiliki seperti ketika naik kereta komuterline harus pake kartu, ke rumah sakit harus pake kartu, dan sekarang harus ke mall dan tempat wisata juga pake kartu. Berbeda dengan di desa, pergi ke sawah tak ada razia, apalagi kartu. Cukup senyum ramah, bersapa sesama warga.
Tetapi, hal yang menyedihkan tinggal di desa, soal stereotif, orang kota menganggap masyarakat desa bodoh, terbelakang, Irrasional berbau klenik, mitos dan sebagainya. Orang desa memiliki kekayaan intelektual dan kearifan lokal yang jauh lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan (toleransi), misalnya dalam agenda bersih-bersih kampung, hidangannya berupa tumpeng dalam kenduren biasanya mencakup nasi gurih, nasi putih atau nasi kuning sepincuk, gudhangan, endog (telor) separo, peyek, iwak pitik (ayam), dimakan bersama-sama, dalam situasi ekonomi sulit makanan ini termasuk santapan lezat. Makna ragam lauk sebagai ragam orang serta sifat yang dapat dijelaskan secara simbolik, juga melambangkan kekerabatan, persaudaraan, kebersamaan serta tolong menolong. Maka, tradisi yang ada di desa merupakan interpretasi para leluhur mereka yang harus dijaga dan dilestarikan.
Hal lain yang menyesatkan orang desa dianggap terpinggirkan, seolah tak punya kontribusi bagi negera, padahal sumber alam yang tumbuh di desa, dimanfaatkan orang kota, dijual dengan harga melambung tinggi dan membuat mereka kaya raya. Merekapun dapat gizi buah-buahan, sayur mayur dan sebagainya berasal dari desa. Orang desa jika stress, pergi ke gunung, pergi ke kali atau danau untuk memancing. Orang kota, menghilangkan stressnya pergi ke diskotik, adapula yang nekat mengkonsumsi narkoba.
Berpacu Mengubah Stereotif
Narasi kecil yang belum layak menjadi monografi desa dan kota diatas adalah refleksi beberapa tahun silam, saat tak ada migrasi digital masuk ke pelosok. Meskipun beberapa masih meninggalkan jejak seperti kerbau sebagai alat transportasi atau tradisi kenduren maupun sekatenan. Desa sudaah bersiap, fasiltas kartu yang dulu hanya milik orang kota sekarang mulai digunakan oleh simbah, kakek, buyut dan sebagainya. Kartu BPJS, yang diperuntukan untuk akses fasilitas pengobatan gratis di posyandu, polindes, bidan desa, dan puskesmas. ATM juga sudah digunakan oleh warga desa menggantikan tabungan konvensional celengan bambu yang sempat merajai. Bahkan transaksi jual beli menggunakan flatform online seperti Tokopedia, Lazada, Shoope dan sebagainya, mahir digunakan oleh mereka. Meskipun akses Go-jek masih terpusat di kota yang berjarak dengan desa serta pelosok.
Selain menggembirakan dan menghapus stereotif, pembenahan terkait layanan pasar industri yang bebas bersaing, minat menggunakan flatform masih terbatas pada mereka yang melek digital, atau generasi milenial dan generasi z yang ada di pedesaan. Kafe-kafe juga sudah mulai bermunculan, makanan modern dari frozen food, siap saji juga tersedia di desa. Berangsur-angsur tapi pasti desapun akan terkontaminasi secara postif termasuk persoalan negatif. Desa akan berubah menjadi kota yang tak tertinggal lagi. Sisi positifnya, tak perlu ada migrasi atau urbanisasi dari desa ke kota dan menambah persoalan baru?, ketika daya tari kota telah runtuh. Pemerataan pembangunan yang diharapkan sejak puluhan tahun lalu, sudah diwujudkan. Tetapi ada kecemasan lain, apakah pemerataan ini termasuk juga memindahkan persoalan kota ke desa? Bagaimana cara melestarikan tradisi merawat alam dan budaya?. Gemah ripah loh jinawi, sebuah moto mulia menggambahkan perjuangan masyarakat desa sebagai bagian bangsa Indonesia bercita-cita menciptakan ketentraman dan perdamaian, kesuburan, keadilan, kemakmuran, tata raharja serta mulia abad. Apakah bibit-bibit individualis akan merusak tatanan tersebut di desa?
Penyelamatan Sumber Daya Alam
Ketercerabutan alam adalah keniscayaan desa, jika produktifitas pertanian tak dihargai, ia akan punah dengan sendirinya. Beberapa waktu yang lalu misalnya, tentang nilai 30 triliun yang tak banyak menghasilkan keuntungan yang baik bagi petani. Kelangkaan pupuk subsidi selain memperkeruh persoalan pertanian di Nusantara, juga berimbas pada pengurangan minat petani juga buruh. Kementerian Pertanian melalui data yang diambil citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA), luas lahan baku sawah di Indonesia pada tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 7,1 juta hektare dari sebelumnya mencapai 7,75 juta hektare, dengan Jumlah desa sekitar 74.910 desa. Artinya beberapa tahun kedepan, saat digitalisasi semakin memuncak di desa, potensi lahan makin tak menarik minat untuk dikelola sebagai perkebunan maupun pertanian. Mungkin akan ada gedung bertingkat seperti hotel, losmen, perkantoran dan ragam cakrawala kota berpindah tempat di desa.
Tetapi, adapula desa yang mengalami krisis air, penyebabnya beragam salah satunya embung desa cekungan penampung (retention basin). Pemerintah harus bertindak menyelamatkan lahan-lahan di pedesaan yang semakin tergusur karena persoalan kelangkaan pupuk. Kartu tani, tak banyak menolong saat terjadi kelangkaan. Kartu tani hanya simbol peralihan sumber daya desa menjadi teknologi yang biasa dilakukan oleh orang kota, tetapi upaya itu patut diapresiasi. Karena teknologi tak mungkin dihambat, tak mungkin di cegah, karena itu merupakan proses peradaban dan juga peningkatan pengetahuan manusia. Namun, apa yang terjadi di kota, tak boleh sepenuhnya beralih ke desa bersama sejumlah persoalannya. Pemerintah harus mempersiapkan sumber daya manusia yang peduli dalam menjaga hutan dan semesta. Terlalu berharga jika alam ditukar dengan industri korporasi yang tak berpihak pada sumber daya alam. Bagaimanapun juga alam tak dapat tergantikan oleh teknologi. Seperti air yang tercemar oleh ulah manusia, sementara teknologi berupaya menengahinya dengan penyulingan terkonologi Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA), yakni sistem mobile yang berfungsi untuk menyaring air banjir atau sungai menjadi bersih dan layak pakai. tetap saja, tak mampu memenuhi kebutuhan air bagi manusia.