"Heart of Stone" merupakan film aksi tentang mata-mata yang menampilkan Gal Gadot sebagai Rachel Stone, agen intelijen yang sangat hebat dan tangguh. Rachel yang merupakan seorang agen MI6 yang juga merupakan agen di Charter, Charter sendiri merupakan sebuah organisasi bayangan yang menggunakan teknologi AI terbaru untuk menjaga perdamaian dunia.Â
Pekerjaan di Charter mengharuskan Rachel untuk menyamar. Dalam penyamarannya, Rachel berusaha untuk menjadi wanita pada umumnya. Ia bergaul, bercengkrama, bahkan nongkrong dengan rekan kerjanya. Namun sebagai seorang agen rahasia, Rachel diminta untuk menjaga integritas supaya tidak mempercayai siapapun. Semuanya berjalan lancar hingga akhirnya dia tenggelam dalam pertemanannya, meskipun dia digambarkan sebagai karakter yang kuat, film ini berhasil menunjukkan sisi rentan Rachel sebagai seorang perempuan yang masih mengikuti perasaannya.
Dari cerita tersebut, terdapat satu hal yang sangat menarik perhatian penulis, yaitu penggunaan Artificial Intelegence (AI), yang mampu memprediksi peluang keberhasilan dari seluruh keputusan yang diambil, The Heart. The Heart merupakan kecerdasan buatan yang digunakan oleh The Charter untuk meningkatkan keberhasilan dan menekan resiko melalui mekanisme analisis dengan menggunakan data dari orang-orang diseluruh dunia untuk memperkuat uji analisisnya. Mekanisme ini sama persis dengan sistem Sosial Kredit di China yang mengawasi dan mengendalikan 1,4 miliar warganya melalui teknologi.Â
Sistem Kredit Sosial menjadi perdebatan hangat dan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sistem ini mengintegrasikan teknologi, data, dan memantau perilaku warga dengan memberikan skor kepada berdasarkan berbagai aspek perilaku atau kegiatan warga nya selama mereka hidup.Â
Sistem ini dimaksudkan untuk mengukur kepatuhan warga terhadap peraturan dan norma sosial serta untuk memberikan insentif atau sanksi. Hal ini tentunya menimbulkan kontrovesi dan perbincangan mengenai kekhawatiran publik terutama dalam hal privasi dan potensi penyalahgunaan yang dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan berlebih, mengancam privasi individu, serta menghambat individu untuk berekspresi.
Kita dapat melihat bahwa penggunaan teknologi kecerdasan buatan dan pemantauan perilaku dapat memiliki potensi dan resiko. Keberadaan AI seakan meningkatkan tingkat keberhasilan Regulasi dalam menciptakan kepatuhan sosial.
Namun penggunaan AI untuk memantau dan memprediksi perilaku bisa mengancam privasi orang yang terekam oleh sistem tersebut. Dalam sistem kredit sosial di China, pengawasan yang terlalu ekstensif dapat menghancurkan privasi warga. Teknologi seperti AI dan sistem kredit sosial yang disalahgunakan oleh pemerintah terkesan tidak etis dan otoriter, sehingga memaksimalkan kekuasaan mereka untuk mengawasi dan menindas individu atau kelompok minoritas disana.
Penulis tidak menawarkan solusi, namun kami menuntut kewajiban pemerintah nasional untuk segera mengatur penggunaan teknologi ini dalam regulasi. Pemerintah harus mengutamakan privasi individu, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemanfaatan teknologi dalam bidang pemerintahan. Pemerintah harus berkomitmen untuk harus menjaga data tidak disalahgunakan dan menjamin hak-hak dasar individu, sehingga kasus pencurian data tidak lagi terjadi di negara ini kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H