Masyarakat sebagai subtansi semua kelas sosial menjadi obyek eksploitasi paling ganas dimasa-masa berkembangnya kapitalisme global. Fenomena ini biasanya marak terjadi di kota-kota semi modern sebagai salah satu gejala dari kebangkrutan kapitalis nasional terhadap tekanan pasar global. Gejala kebangkrutan ini akan diikuti dengan meningkatnya laju pengangguran secara signifikan, sehingga aparatur negara terpaksa melakukan manuver-manuver dengan otonomi daerah untuk menampung penyakit-penyakit sosial, ketika kebijakan negara sudah tidak mampu lagi menahan laju gelombang intervensi asing.
Ketika Otonomi Daerah diberlakukan di seluruh wilayah negara, pembagian kekuasaan membawa perubahan juga terhadap pembagian kekuasaan politik, hal tersebut merupakan bagian dari konsep demokrasi yang diterapkan ke dalam wilayah yang di otonomi. Munculnya DPRD di masing-masing kota, dan penambahan aparatur pemerintahan yang mengurusi administrasi kota adalah syarat ketika otonomi daerah di jalankan sebagai bagian dari pembagian kekuasan wilayah secara politik. Namun efek dari otonomi daerah tersebut ke dalam masyarakat secara keseluruhan dari segi pembangunan ekonomi wilayah dan sumber daya manusia perlulah di koreksi dengan kritis ketika dalam faktanya hanya membusukan masyarakat dengan pembentukan ormas-ormas yang menyuburkan satu pihak dan mengorbankan mayoritas masyarakat secara keseluruhan apalagi sampai mengkotak-kotakan masyarakat ke dalam bagan-bagan politik yang pragmatis.
Kemiskinan dan kebutuhan masyarakat terhadap hal-hal yang berkenaan denga aktifitas pratis dalam keseharian, harus terlebih dahulu di koreksi sebelum kepemimpinan disahkan secara hukum. Namun akan sulit untuk mengoreksi hal tersebut ketika sedemikian lama masyarakat mengalami keterbelakangan politik, sehingga hal-hal yang tidak seharusnya menjadi penting untuk mengukur daya saing calon atau partai. Masalahnya hal-hal tersebut disuburkan oleh para politisi sebagai bagian dari strategi politik dan seolah-olah menjadi syarat mutlak di alam pemikiran masyarakat. Dan untuk melestarikan dan melanggengkan kekuasaan ini, trasformasi sosial dari pemerintah dan masayrakat memerlukan saluran penghubung yang bisa membawa suara politik dan kepentingan elite ke wilayah masayrakat sampai tingkatan bawah dan Ormas adalah salah satunya.
Munculnya organisasi-organisasi masyarakat baik formil maupun non formil, adalah disamping sebagai kehendak internal dari masyarakat tersebut juga dikarenakan pengaruh external yang berkepentingan terhadapnya. Tarik menarik antara kekuatan internal masyarakat terhadap pengaruh external yang menjadi konsumen terhadap keberadaan ormas-ormas tersebut pada prinsifnya akan saling bertentangan, namun ketika Ormas melakukan spekulasi terhadap kepentingan basis organisasinya pada akhirnya justru pengaruh ekternal yang cenderung menguasai mereka. Hilangnya kontrol sosial terhadap ormas-ormas tersebut justru, secara riil ormas-ormas tersebut terlepas dari basis sosial yang sebenarnya sehingga segala aktivitas yang ada cenderung dari ide-ide diluar basis masyrakatnya.
Dengan begitu, Ormas makin dan makin kehilangan karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan tingkat yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah organisasipolitis. Atau lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain, dan mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki masyarakat. Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di satu sisi, Ormas mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi sosial kepentingan umum pada bagian masyarakat, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol"nya terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter elit penguasa mengharuskan Ormas untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas ke dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter politisi, sedangkan bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yangnegatif, sebagaimana dalam hal kekerasan.
Bentuk-bentuk Otonomi daerah dari kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara jelas evolusi Ormas dalam masyarakat. Bentuk-bentuk otonomi daerah ini pada batas itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosial. Tetapi konflik di dalam masyarakat, termanifestasi sendiri bahkan secara lebih empatik dalam Ormas. Sesungguhnya, sesuai dengan bentuknya, Ormas berfungsi untuk mengekspresikan -di dalam pemerintahan-kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat. Namun apa yang diekspresikan oleh Ormas di sini adalah masyarakat elit, yaitu suatu masyarakat di mana kepentingan-kepentingan elit lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga yang mengaku perwakilan masyarakat (Ormas) dan anggota dewan dalam bentuknya, ternyata dalam isinya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan model yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah otonomi daerah menunjukkan kecenderungan untuk menegasikan karakter kelasnya dan mulai tertransformasikan menjadi instrumen dari kepentingan riil populasi, maka bentuk-bentuk organisasidan partai itupun dikorbankan oleh politisi dan oleh wakil-wakil ormas. Itulah mengapa ide tentang otonomi daerah merupakan perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat liberalisme borjuis lokal- berasyik-asyik sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal otonomi daerah, namun tidak mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan sesungguhnya dari masyarakat. Seluruhnya, Ormas-ormas bukanlah suatu elemen sosialis langsung yang membuahi seluruh masyarakat secara perlahan. Sebaliknya, Ormas adalah bentuk spesifik dari Parpol atau penguasa yang membantu mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini ada dalam kelas kapitalis lokal.
Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh semacam itu murni bersifat imajiner. Hubungan-hubungan antara Ormas dan Partai Politik dengan masyarakat berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan, sehingga aktivitas praktis sehari-hari dari Pemerintah sekarang ini kehilangan -dalam analisis terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk mencapai keadilan sosial. Namun ketikaOrmas dianggap sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi secara langsung terhadap masyarakat, maka Ormas tidak hanya kehilangan efektivitasnya yang lazim, melainkan juga tak lagi menjadi sarana untuk menyiapkan masyarakat atau individu kritis.
Suatu masyarakat semi modern (kota kecil) pada dasarnya adalah lahan subur untuk menanamkan ide-ide masyarakat sosialis. Masyarakat yang seperti itu sudah mampu menghadapi kontradiksi-kontradiksi sepanjang sejarah pembentukannya. Masalahnya, sistem masyarakat yang sudah matang tersebut, menjadi mandul dengan sendirinya ketika elemen-elemen yang ada di dalamnya terperangkap kedalam organisasi masyarakat yang justru membagi kesatuan sosial masyarakat tersebut ke dalam pengkotakan yang menimbulkan konflik internal yang tak berujung, secara abstraksi. Ketika aktifitas Ormas mengalami perluasan ke wilayah politik, masyarakat secara konsepsi menjadi absurb terhadap fakta sebenarnya, bahwa otonomi daerah sebenarnya adalah pembagian kekuasaan pasar oleh borjuis lokal ketika tidak mampu lagi menghadapi tekanan ekonomi global.
Ormas-ormas yang ada adalah bagian internal masyarakat yang kehilangan hakekat bentuknya yang sosial, justru ketika melakukan penegasan tentang identitasnya yang permanen, sedangkan hakekat suatu masyarakat adalah dalam kondisi yang berubah terus menurus mengikuti perkembangan zaman. Pada akhirnya bentuk-bentuk ormas tersebut menjadi belenggu bagi karakter yang diwakilinya, ketika kontradiksi-kontradiksi yang terjadi didalamnya tidak menciptakan obyek yang mengerucut akan tetapi justru menjadi meluas dalam skala sosial lainnya, ikatan terhadap kepentingan dimana ormas-ormas tersebut bergantung, seperti gelembung busa yang meledak ketika borjuis lokal sudah tidak mampu menghadapi persaingan global, efeknya adalah persaingan yang semakin menajam antara ormas, yang menyuburkan premanisme.
Namun, sepanjang pemahaman tentang sosialisme bukan hanya sekedar sebagai panduan kebebasan masyarakat pekerja, akan tetapi juga sebagai ideologi pembebasan bagi semua masyarakat maka, idealisme extrim yang muncul dari paham ini dengan segala sikap kritis dan praktisnya, diharapkan bisa menjadi pemicu untuk merubah konflik bentukan yang sengaja dibuat melalui manajemen konflik kedalam konflik yang nyata, dalam artian kontradiksi-kontradiksi alamiah yang obyektif terhadap fakta-fakta, sehingga menghasilkan kesadaran sosial yang progresif kearah perubahan yang sesungguhnya, yaitu revolusi sosial, sehingga ketika momen perubahan telah tiba, ormas-ormas tersebut menyadari bahwa mereka adalah suatu kesatuan sosial yang paling pedih mengalami kemunduran sosial akibat suatu sistem yang menyuburkan kekurangan-kekurangan mereka dan oleh karena itu menjadi yang paling ganas terhadap apa dan siapa yang paling bertanggung jawab dari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H