Meskipun begitu beliau selalu sabar dan tenang. Tidak memperlihatkan raut marah dan emosi. Bahkan beliau mendo'akan dan menasihati. Masih teringat yg selalu beliau katakan, "Harus malu sama santri dibawah kalian. Belajar dewasa dan berikan contoh akhlak yg baik,". Nasihat itu selalu ku ingat.
Aku juga masih ingat kala memberanikan diri, sendirian memohon izin kepada beliau untuk boyong -keluar Pesantren-, banyak sekali aku dinasihati. "Jangan lupakan Pondok Kebon Jambu. Sering shilaturahmi ke pondok. Kang Asror izinkan -boyong-. Kang Asror ridlo," pesan beliau saat itu yg membuatku lega.
Suatu saat, organisasiku mengadakan Latihan Kader Muda (Lakmud) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) -- Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) se-Wilayah 3 Cirebon di Gedung Pertemuan Ulama Pesantren Babakan Ciwaringin. Sekira pukul 13.30 tiba-tiba beliau (KH Asror Muhammad) mendatangi tempat kegiatan. Seketika itu aku merasa sangat malu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Malu karena belum sempat sowan padahal lokasi kegiatan tidak terlalu jauh dari Pondok. Malu karena jarang shilaturahim. Sekadar untuk mengundang beliau saja aku mesti mewakilkan orang. Ahhh, serasa jadi santri yang Su-ul adab pada Kyainya.
Tidak disangka beliau justru bilang, "Sengaja, hari ini ba'da dzuhur dan ashar pengajian santri bagian saya diliburkan. Ingin nengok anak (aku sebagai santrinya-red) yang sedang khidmah di NU," beliau bilang di depan sebagian rekan-rekan dan tamu yang menunggu giliran mengisi materi.
Namun beliau melanjutkan "Meski anak saya itu jarang pulang ke Pondok. Jarang nengok Arofah (Komplek Arofah Al Musyarrofah) yang masih pake gribik," beliau tertawa kecil sambil menengok ke arahku.
"Kapan Ayub terakhir kali ke Jambu?" Tanya beliau kepadaku. Dan pertanyaan itu sulit aku jawab. Memang harus ku akui beberapa bulan ke belakang aku jarang sekali sowan ke Pondok.
Saat itu aku seolah-olah disadarkan kembali, betapa pedulinya beliau padaku. Aku yang tidak peduli masih dianggapnya sebagai anak. Subhanallah.
Yang membuatku merasa kehilangan, aku belum sempat sowan ke beliau untuk sekadar menanyakan kabar dan memberi kabar baik bahwa operasi kelainan kelenjar tiroidku berjalan lancar.
Sebelumnya aku tidak berani melakukan cek up ke dokter. Namun beliau menasihatiku sekaligus mendo'akanku agar lekas sembuh dan sehat. "Ikhtiar mah kedah. Enggal ka dokter. Kedah operasi ya operasi. Insya Allah dipasihan sehat," kata beliau sambil memegang benjolan tiroidku dan mendo'akanku.
Itulah terakhir kali aku bertemu dengan beliau. Hingga suatu pagi Jum'at di bulan Ramadan aku mendapat kabar beliau telah menghadap dan bersanding dengan Allah SWT dengan tenang. Yaa Allaah, untuk beliau Kang Asror, Al Fatihah. .
Majalengka, 11 Juni 2017