Mohon tunggu...
Ayub El-Marhoum
Ayub El-Marhoum Mohon Tunggu... -

Pemuda berdarah Duri (Sebuah suku kecil di Sul-Sel), sedang merantau dan belajar di Jogja. tertarik pada sastra dan ushul fikih...perpaduan yang aneh memang :) dan dituangkan di http://ayubalmarhum.blogspot.com/ dan http://ayubmenulis.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagaimana Salaful Ummah Berijtihad?

30 April 2012   08:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DARI PERIODE KENABIAN SAMPAI MASA KHULAFA RASYIDIN
MASA RASULULLAH
Pemikiran Islam pada masa Rasulullah ditandai dengan ciri utama yakni tidak adanya perbedaan pendapat, karena semua masalah yang muncul langsung ditanyakan kepada Rasulullah sendiri. Hukum dan semua pemikiran keislaman  bersumber langsung dari wahyu, baik makan dan lafalnya yakni al-Qur’an atau hanya maknanya saja yakni Hadis. Karena hal itulah fikih pada masa ini disebut fiqhu al-wahyi (Zaidan, 2001 : 108).
Masa Rasulullah saw atau periode kenabian dapat dibedakan menjadi masa Mekah dan Madinah, corak perkembangan pemikiran Islam pada kedua masa ini memiliki keunikan masing-masing. Masa Mekah berlangsung selama kurang lebih 13 tahun terhitung sejak diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul sampai beliau berhijrah. Focus bimbingan Islam pada masa ini tertju pada dua hal yakni pengokohan akidah dan pembentukan akhlak sebagai persiapan dan pondasi bagi pembentukan tasyri’ (dan pemikiran) Islam (Khalil, 2009 : 42).  Setelah hijrahnya Rasulullah dimulailah periode Madianah, periode ini berlangsung selama 10 tahun hingga wafatnya Rasulullah saw.Tasyri’ pada masa ini lebih kompleks meliputi seluruh aspek kehidupan kaum muslimin baik sebagai individu ataupun masyarakat (as-Sayis, tt :13).  Ajaran Islam pada periode ini menjadi lengkap meliputi ibadah, muamalah, jihad, hukum-hukum baik itu pidana dan pedata ; hukum pernikahan dan perceraian ; wasiat, warisan, kehakiman dan seluruh hal yang dicakupi ilmu fikih (as-Sayis, tt : 13).
Cara syariat dibentuk pada masa ini setidaknya ada dua bentuk ; diberikannya ketentuan hukum bagi permasalahan atau kejadian yang muncul. Contoh bentuk ini bisa kita lihat di dalam riwayat-riwayat tentang asbab an-nuzul ayat atau asbab al-wurudhadis. Bentuk lain adalah Rasulullah mejawab dengan ucapan dan perbuatannya (Khalil, 2009:48). Meskipun Rasulullah masih hidup sehingga dapat langsung menerima wahyu sebagai jawaban untuk semua persoalan, tetapi pada masa ini juga telah ada ijtihad baik itu dari Rasulullah maupun sahabat-sahabat beliau. Namun ijtihad pada masa ini jika keliru akan langsung mendapatkan koreksi dari Allah swt, misalnya pada peristiwa tawanan perang Badar dimana ijtihad Abu Bakar ra yang dipilih Rasulullah saw ternyata tidak dibenarkan Allah, justru ijtihad Umar ra yang dibenarkan            (as-Sayis, 1970 : 14).
Beberapa poin penting pemikiran Islam yang muncul pada masa kenabian adalahtadarruj yakni pembentukan ketentuan hukum atau suatu ajaran dengan cara berproses dan berangsur-angsur ; raf’u al-harj yakni  ketentuan hukum atau ajaran selalu berfungsi untuk menghilangkan kesusahan ; dan an-naskh yakni penghapusan suatu ketentuan baik lafal dan hukum, hanya hukumnya atau hanya lafalnya (Zaidan, 2001:111-113).
MASA KHULAFAH AL-RASYIDIN
a.Faktor-Faktor Yang Memicu Geliat Pemikiran Islam Periode Ini
Menurut Dr. Nashir Farid Washil setidaknya ada dua factor utama yang mendorong berkembangnya pemikiran Islam pada masa ini, khususnya perkembangan  pemikiran hukum/fikih. Faktor-faktotr tersebut adalah ;
1.Meluasnya wilayah Daulah Islamiyah karena penaklukan-penaklukan yang telah merambah sampai ke Persia, Irak, Syam dan Mesir. Masyarakat pada wilayah-wilayah taklukan tersebut memiliki adat kebiasaan dan kegiatan-kegiatan yang tidak dikenal oleh para penakluk Islam. Menganggapi hal ini para fukaha sahabat berijtihad untuk mencari tahu bagaimana pandangan Islam atas adat kebiasaan tersebut.
2.Bercampurnya atau terjadinya interaksi antara orang Arab dan orang-orang selain mereka.  Tidak semua rakyat dari negeri-negeri taklukan memilih masuk Islam, sebagian diataran mereka tetap memeluk agama lamanya. Maka para fukaha sahabat harus berijtiah untuk menentukan aturan interaksi dengan mereka yang sesuai ajaran Islam (Washil, tt : 83).
3.Ketiadaan sosok Rasulullah saw menjadi faktor yang paling penting. Karena ketiadaan beliau membuat para sahabat tidak bisa lagi merujuk langsung kepada beliau dan harus beristinbath sendiri.
b.Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat
Di kalangan sahabat pada masa khulafah rasyidin kadang terdapat perbedaan pendapat mengenai permasalahan tertentu. Menurut Abdul Karim Zaidan sebab-sebab perbedaan tersebut antara lain ;
1.Perbedaan penguasaan mereka terhadap sunnah, sebagian mengetahui suatu sunnah (ketetapan Rasulullah saw mengenai suatu masalah) sedangkan sahabat lain tidak mengetahuinya.  Para sahabat yang mengetahui sunnah akan meberkan fatwa sesuai sunnah (hadis) tersebut sedangkan yang tidak mengetahuinya akan berijtihad sendiri, terkadang ijtihad mereka sesuai sunnah namun terkadang tidak.
Contohnya misalnya pendapat Umar bin Khattab bahwa jemari tangan tidak dikenai diyat, kemudian setelah ia mengetahui bahwa ada hadis yang menyatakan adanya diyat bagi jari, beliau merubah fatwanya.
2.Perbedaan muncul karena sebagian sahabat tidak gampang menerima hadis yang diriwayatkan dari Nabi kepadanya. Contohnya adalah Umar bin Khattab ra yang tidak mau menerima hadis dari Fatimah binti Qais mengenai tidak adanya pemberian nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang ditalak bain.
3.Perbedaan pandangan dalam memahami maksud dari suatu nash. Misalnya perbedaan pendapat sahabat mengnai masa iddah apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Perbedaan ini muncul karena lafal quru’yang mernjadi ukuran lama iddah adalah lafal musytarak yang bisa berarti suci juga bisa bermakna haid.
4.Perbedaan ijtihad di dalam perkara-perkara yang memang tidak diatur secara eksplisit oleh nash.  (Zaidan, 2001 : 130)
Dr. Rasyad Hasan Khalil menambahkan sebab perbedaan tersebut, jika dilihat sebab yang dikemukakan Dr. Rasyad, terlihat bahwa sebab-sebab tersebut menajdi penyebab tidak langsung dari sebab-sebab yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan. Sebab-sebab yang dikemukakan Hasan Kalil antara lain ;
1.Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Sebagian sahabat ada yang tidak memahami beberapa kata di dalam nash yang bukan berasal dari bahsa kabilahnya, misalnya Umar bin Khattab yang tidak mengetahui arti kata takhawwufin sebelum diberi tahu oleh seorang kakek dari Bani Hudzail. Kata itu berarti “menghina” di dalam dialek Bani Hudzail. Hal ini mempengaruhi perbedaan dalam memahami nash.
2.Perbedaan dalam hal pergaula dengan Rasulullah. Ada sahabat yang bersama Rasulullah saw dalam waktu lama, sebagian hanya sebentar. Hal ini akan berpengaruh pada penguasaan akan sunnah.
3.Perbedaan kapasitas individu atau kemampuan intelektual (Khalil, 2009 : 60).
4.Sebab yang menjadi induk dari sebab perbedaan pendapat para sahabat ada dua hal yakni adanya nash yang zhanni ad-dilalah sehingga dipahami secara berbeda dan belum dibukukannya sunnah (hadis) (Khalil, 2009 : 71).
c.Metode Pengayaan Masalah (Thuruq al-isitnbath) Pada Periode ini
Secara umum dapat dikatakan bahwa para sahabat ketika melakukan istinbath hukum mengikuti petunjuk Rasulullah saw yang terekam di dalam hadis Muaz bin Jabal ketika ia diutus ke Yaman, yakni merujuk pertama-tama kepada al-Qur’an, lalu sunnah, dan terakhir berijtihad dengan ra’yi. Di dalam berijtihad ini, mereka menempuh cara yang beragam dan alat yang digunakan (adillah al-ahkam) juga berbeda-beda.
Ijtihad yang dilakukan pada masa Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra umumnya adalah ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif meskipun ada juga ijtihad individualfardy. Ijtihad kolektif disini adalah musyawarah antra Khalifah dengan para fukaha sahabat mengenai suatu permasalahan. Jika mereka mencapai kata sepakat, maka kesepakatan itulah yang menjadi keputusan hukum, sedangkan jika tidak ada kesepakatan maka khalifah memutuskan sendiri yang ia anggap benar.
Setiap Khalifah memiliki caranya sendiri di dalam menempuh jalur-jalur penetapan hukum yang telah dijelaskan di atas. Diriwayatkan bahwa jika menghadapi suatu permasalahan baik itu perseteruan dua pihak (khusum) atau pun suatu masalah dari satu orang saja, maka ia akan merujuk kepada al-Qur’an pertama kali. Jika tidak ditemukan, ia berpaling kepada sunnah yang ia ketahui, jika ia tidak mengetahui sunnah mengenai permasalahan tersebut beliau mengumpulkan orang-orang dan menanyakan apakah ada yamg mengetahui hadis seputar masalah tersebut atau tidak. Apabila masih tidak ditemukan ia akan melakukan ijtihad kolektif seperti yang telah dijelaskan di atas (Zaidan, 2001:119).
Khalifah Umar juga melakukan hal yang serupa kecuali bahwa beliau akan tetap melakukan musyawarah sampai ditemukan pendapat yang disepakati. Beliau juga diriwayatkan telah menasehati Syuraih bahwa ia boleh saja memilih untuk melakukan ijtihad jika mampu dan jika belum siap boleh mengakhirkannya. Umar bin Khattab juga menasehati Abu Musa al-Asy’ari agar melakukan qiyas lewat kata-katanya yang terkenal ; a’rif al-asybah wa an-nazhair wa qis al-umuura. Kata-katanya ini kelak menjadi judul bagi kitab-kitab qawaid dari mazhab-mazhab fikih.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa para fukaha sahabat pada periode Khulafa al-Rasyidin telah menggunakan ra’yu pada persoalan-persoalan yang tidak secara eksplisit disinggung nash, dan ijma’ adalah sumber hukum yang diakui (mu’tabar) di antara mereka. Mereka juga telah meletakan dasar-dasar qiyas,. Ra’yu yang dianggap buruk oleh sahabat di dalam sebagian riwayat adalah ra’yu yang buruk, atau dilakukan pada masalah yang telah ada nashnya, atau karena orang yang melakukannya belum mampu untuk berijtiahd. Menurut Ali as-Sayis, kata ra’yu yang digunakan oleh para fukaha sahabat pada periode ini sebenarnya telah mencakup berbagai metode ijtihad seperti istihsan, maslahah mursalah, saddu zari’ah ,istishab, dan qiyas. Ijtihad yang dilakukan para fukaha sahabat terbatas pada persoalan yang benar-benar nyata, mereka tidak melakukan ijtihad “andai-andai” (as-Sayis, 1970 : 37).
Maraji :
Al-Madkhal li Dirasah asy-Syari’ah al-Islamiyah, Dr. Abdul Karim Zaidan.
Al-Madkhal al-Wasith li Dirasah asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Fiqhi wa at-Tasyri’,Nasir Farid Washil
Tarikh al-Fiqhi al-Islami, Muhammad Ali as-Sayis
Nasyat al-Fiqhi al-Ijtihady wa Athwaruhu, Muhammad Ali as-Sayis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun