Kini banyak muncul buku yang menggugat penulisan sejarah arus utama. Mereka menawarkan sejarah alternativ, sudut pandang yang membuat suatu kaum tidak kucil sebab kalah. Tawaran seperti ini pastilah lahir sebab orang-orang sudah begitu yakin dengan celotehan Churcill yang masyhur itu “histoy written by the winner”. Mungkin kakek Winston berucap demikian sebab baginya sejarah tidak lebih dari cerita perang, selalu ada menang dan kalah. Bagi saya sendiri, tidak penting oleh siapa sejarah ditulis karena bias memang susah dihindari. Bagian terpenting dari sejarah adalah menjadi palajaran, bagi yang mau belajar tentu saja. Bahkan sejarah penulisan sejarah pun seharusnya dijadikan pelajaran ; kelak jangan melihat sejarah hanya sebagai cerita perang agar kalian menulisnya bukan sebagai pemanang atau pecundang. Tulislah ia sebagai manusia lemah yang mesti belajar dari apa yang telah terjadi.
Namun sejarah terlanjur ditulis dari sudut pandang seorang Churcill, oleh pemenang. Sejarah dunia misalnya, penuh dengan caci maki terhadap Hitler dan sekondan gilanya, para penghulu jamaah Nazi. Menurut saya, Hitler dan Nazinya adalah salah satu potongan sejarah yang inspiratif. Bahkan kebijakan akrobatik mereka menjelang kalah telak tetap saja inspiratif. Salah satu kebijakan itu adalah kebijakan Gottbegnadetenyang dikeluarkan oleh Goebbels si lidah beracun. Secara harfiah Gottbegnadeten berarti manusia yang diberikan karunia oleh Tuhan. Singkatnya, manusia-manusia berbakat. Kebijakan unik ini muncul ketika Jerman sudah memperlihatkan tanda-tanda akan dipukul mundur. Kekalahan demi kekalahan terpaksa mereka kunyah dengan gigi ompong sebab sang Fuhrer pun menampakan tanda-tanda stress. merasa inilah saatnya total war, perang habis-habisan. Puputan kata orang Bali. Semua lelaki yang masih fit dikerahkan, hampir semua, kecuali mereka yang namanya tertera pada sebuah daftar yang berisi manusia-manusia pilihan. Daftar itulah yang diberi nama Gottbegnadeten.
Orang-orang yang namanya tertera di dalam Gottbegnadeten tidak dikerahkan ke medan perang. Sebaliknya mereka bahkan dijaga keamanannya agar tetap selamat. Siapakah mereka? Para pejabat? Para bangsawan? Oh ternyata bukan. Mereka adalah para seniman, penulis, pemain film, pembuat film, penyanyi, pengarang lagu dan orang-orang kebudayaan lainnya. Mereka diselamatkan sebab dianggap aset terbesar bangsa Jerman. Logikanya ; tidak apa-apalah kami kalah telak sekali lagi, asal nanti masih bisa bangkit lagi. Nazi memanggap sekelompok artis itu penting bagi kebangkitan kembali Jerman jika harus kembali jadi pencundang perang dunia. Untuk membangun infrastruktur fisik, Jeman bisa mengandalkan manusia mana saja, tapi untuk membangun kembali identitas nasional bangsa Jerman, bangsa Ubber Alles itu, hanya bisa dilakukan oleh insan-insan terpilih yang namanya tertera di Gottbegnadeten. Sekeras apapun watak jendral-jendral Nazi, mereka tahu bahwa untuk membangun jiwa manusia yang diperlukan bukan senapan tapi karya seni yang bermutu. Itulah sebabnya, mereka menyimpan rapat-rapat para artis itu, sebab mereka adalah benteng terkokoh identitas nasional Jerman.
Jerman Nazi jelas tidak menganut prinsip seni untuk seni, prinsip yang sepertinya kini banyak diamini dan diimani orang. Termasuk di Indonesia. Diimani sebab karya-karya seni yang ada, setidaknya yang bisa saya akses dan banyak diakses orang di TV, tampaknya tujuannya Cuma buat senang-senang saja. Diamini sebab jika ada yang mencoba bersikap kritis atas karya seni yang dianggap kurang ‘sopan’ atau kurang ‘mendidik’ maka tidak sedikit pembela yang kemudian berucap ; woi, itu kan Cuma show, nikmati aja kenapa? Padahal di Indonesia, seni pernah tidak sekedar buat seni saja. Dulu bahkan jadi alat benturan ideologi, ya semua tahulah tentang Lekra, Manikebu, dan lain-lain. Para walisongo juga memakai seni ketika mencoba mendakwahkan Islam. Tentu Walisongo memakai media tersebut sebab seni bagi masyarakat nusantara pra-Islam bukan sekedar tontonan. Jika waktu itu pertunjukan wayang Cuma tontonan, setidaknya para wali akan berpikir ulang untuk menjadikannya media.
Akhirnya saya jadi bertanya-tanya; Apakah para penguasa kita yang bersih, jujur, dan amanah kini punya kepekaan sama dengan Goebbels dan para jagal Nazi? Pedulikah mereka bahwa para seniman, entah itu seniman kelas awang-awang seperti pelukis abstrak di ISI sana atau para seniman POP yang saban hari muncul di televisi, adalah aset nasional? Pedulikah mereka bahwa para seniman itu harus diarahkan agar bisa turut membentuk identitas bangsa, membangun jiwa bangsa? Aih, jika melihat keadaannya selama ini saya tidak yakin bahwa mereka punya pikiran sejenius Goebbels. Atau, jangan-jangan le art pour le art telah menjadi sila keenam kita? Ohya, pertanyaan lain yang agak menggelitik, jika memang pemerintah Indonesia punya gagasan seperti Nazi jika kita ditimpa bencana dahsyat (nauzubillah), kira-kira siapa saja yang akan masuk ke dalam daftrarnya? Para penemu goyang-goyangan itu? Hehe.
Wallahu a’lamm...
Waktu memposting ini di FB, seorang teman memberikan komentar ;
Saya baru sja baca buku Pak Arya Ronald "Kesenian sebagai motivator Pembaharuan". Beliau mengungkapkan, "kesenian dan atau kebudayaan telah menunjukkan peran cukup besar dalam pembentukan dan pengembangan watak dan kepribadian bangsa. pernyataan ini muncul dari kesadaran manusia karena kesenian telah lahir dari keadaan yang penuh dengan suasana kehalusan dan didukung pula oleh ketajaman intuisi dan naluri manusianya, yang kemudian akan banyak mempengaruhi watak dan kepribadian manusia yang mencipta kesenian itu sendiri atau bahkan juga manusia yang berada di sekelilingnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H