Sadar atau tidak, sebagian diantara kita tidak mau berdamai dengan keberagaman yang sebenarnya menjadi karakter bangsa Indonesia. Karena hal itu dianggap bertentangan dengan mayoritas yang ada disekitarnya. Pandangan ini umumnya diyakini oleh kelompok intoleran dan radikal. Mereka selalu menganggap dirinya dan kelompoknya selalu benar. Sementara pihak yang berbeda, dianggap sebagai pihak yang salah. Apalagi perbedaan itu dilandasari dengan faktor keyakinan. Akan semakin membuat kelompok ini antipati dengan kelompok lain. Hal semacam ini merupakan bentuk bibit intoleransi dan radikalisme, yang harus dibuang jauh-jauh dalam diri kita semua.
Tak dipungkiri, seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat, keberadaan kelompok radikal dan intoleran ini terus menggeliat. Mereka sudah berani terang-terangan muncul ke publik. Pemerintah memang telah membubarkan HTI beberapa waktu lalu, karena dianggap menyebarkan bibit intoleran dan radikalisme. Namun, apakan pesan-pesan intoleran itu hilang? Tentu tidak. Ujaran kebencian terus masif di dunia maya. Apalagi di tahun politik seperti sekarang ini. Hampir setiap menit terus bermunculan. Entah untuk menjatuhkan pasangan calon, atau memang sengaja untuk menyuburkan bibit radikal, faktanya ujaran kebencian ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Mulai dari anak-anak hingga manusia dewasa.
Memelihara kebencian, jelas tidak ada manfaatnya. Selain bisa memicu terjadinya banyak penyakit, dalam kehidupan bermasyarakat, kebencian bisa memunculkan perilaku intoleran dan radikal. Dan radikalisme merupakan akar dari terorisme. Hampir semua pelaku terorisme yang ditangkap, mengaku mengenal radikalisme ini melalui dunia maya. Sementera banyak masyarakat yang tidak sadar, bahwa kebencian yang selama ini sering disebarkan di dunia maya ini merupakan bagian dari bibit radikalisme.
Apa jadinya jika seorang anak bermain dengan teman sebaya, lalu mengatakan kafir, hanya karena kondisi fisiknya mirip kelompok minoritas. Apa jadinya jika seorang remaja mengatakan temannya kafir, hanya karena berbeda agama. Dan apa jadinya seorang anak mengatakan orang tuanya sendiri kafir, hanya karena tidak mau mengikutinya bergabung dengan ISIS. Semuanya sudah terjadi di Indonesia. Di negara yang sangat menjunjung tinggi nilai keberagaman dan toleransi. Di negara yang mempunyai Pancasila sebagai dasar negara.
Lalu bagaimana caranya memutus bibit radikal yang telah berkembang ini? Kembalilah pada nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika bingung mencari apa itu kearifan lokal, lihatlah, kenali dan pahamilah nilai-nilai Pancasila. Dasar negara Indonesia ini terbukti mampu menjadi perekat dari keberagaman yang ada di negeri ini. Falsafah hidup bangsa Indonesia ini, juga terbukti mampu memberikan tuntutan, bagi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam ini.
Ada yang menyebut Pancasila tidak sesuai dengan mayoritas penduduk Indonesia yang muslim. Anggapan ini tentu tidak tepat. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang beragama. Tanpa campur tangan Tuhan, niscara tidak akan ada negara yang bernama Indonesia. Jika dasar-dasar agama sudah benar dan kuat, maka setiap manusia pasti akan bisa memanusiakan manusia, seperti yang tertuang dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan jika bisa melakukan itu, diharapkan bisa saling bersatu dalam keberagaman, dalam semangat sila persatuan Indonesia. Namun jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat, ada mekanisme musyawarah seperti yang diamanahkan dalam sila keempat. Dan jika sila pertama hingga keempat ini bisa dilakukan, makan keadilan sosial bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan kelima nilai inilah sebenarnya esensi dari kearifan lokal suku-suku yang ada di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H