Presiden Joko Widodo telah menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam  Sidang Tahunan MPR di Gedung DPR/MPR. Isi pidatonya cukup membuat ‘lega’ pendengarnya. Namun, tak semuanya sepakat dengan isi pidato Joko Widodo itu.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon misalnya, bereaksi cukup keras terhadap pidato kenegeraan itu. Dia gemas dengan pemerintah yang  menganggap ‘remeh’  kondisi perekonomian saat ini.Bahkan, dalam kondisi ekonomi dunia yang tidak stabil, pemerintah masih optimis tumbuh 7 persen.
Terhadap hal ini, Fadli mengatakan, seharusnya pemerintah mengungkapkan hal-hal pahit dan secara bersama sama kita hadapi, dibandingkan menebar proyeksi atau impian kosong.Lihat saja data dari  Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan-II 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia  mencapai 4,67 persen secara tahunan. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi triwulan-I tercatat 4,7 persen.
Kondisi ini memang lebih baik jika dibanding triwulan-II 2014, dan tumbuh 3,78 persen bila dibandingkan dengan triwulan-I 2015. Tapi, untuk tumbuh menjadi 7 persen cukup mustahil. Karenanya, Ketua Badan Anggaran DPR RI Ahmadi Noor Supit menyatakan bisa memiliki pertumbuhan ekonomi 4,9 persen saja pemerintah sudah hebat.
Sebelumnya, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 sebesar 4,7 persen atau melemah dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen, karena dampak dari reformasi struktural yang dilakukan pemerintahan Jokowi belum terlihat sepenuhnya. Kondisi yang kurang mendukung seperti rendahnya harga komoditas dan melemahnya pertumbuhan investasi juga terus menekan sehingga ekonomi Indonesia maju perlahan.
Selain itu, perekonomian Indonesia masih terpengaruh dari tekanan eksternal seperti kemungkinan normalisasi kebijakan suku bunga acuan The Fed (Bank Sentral AS) serta kelesuan ekonomi di negara tujuan ekspor seperti Tiongkok.
Kemudian, meski data-data manufaktur AS cenderung juga melambat, namun indeks manufaktur dari Eropa dan Asia juga variatif, cenderung masih melambat sehingga kurang memberikan amunisi positif bagi laju mata uang Asia menguat. Akibatnya laju dolar AS masih cenderung terlihat positif dibandingkan mata uang lainnya. Oleh karena itu, kita memang harus bersiap-siap menghadapi satu kondisi perekonomian yang lebih buruk.
Dalam pidatonya Jokowi juga  banyak bicara soal persatuan. Namun,  kenyataannya, pemerintah sudah gagal menjaga persatuan.Ini terlihat dengan kisruh dualisme kepengurusan Parta Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Selama ini tak ada upaya dari pemerintah untuk mempersatukan Partai Golkar maupun PPP. Padahal,  awal mula perpecahan kedua parpol ini disebabkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang mengakui salah satu dari dua kubu kepengurusan.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan juga menyayangkan pidato Jokowi. Katanya, pidato presiden  banyak yang paradoks. Presiden Jokowi bicara soal perwujudan janji-janji UUD 1945, tapi faktanya, pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Bahkan, secara terang-terangan, membuka "kran" lebar-lebar bagi masuknya tenaga kerja asing yang tentunya  bakal menggerus kesempatan kerja warga lokal.
Demikian pula halnya ketika berbicara soal kemandirian ekonomi. Faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui utang luar negeri yang bertumpuk. Saat ini, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia sudah di atas 50 persen. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal Indonesia. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk membayar utang luar negeri. Kita semua  berharap Presiden dan jajarannya dapat mewujudkan janji-janjinya kepada masyarakat secara konsisten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H