Kita tentu tidak asing dengan istilah metropolitan bahkan banyak diantara kita kini hidup di daerah ini. Bagi sebagian orang, hidup di metropolitan berarti bisa mendapatkan kehidupan yang gemerlap, hidup yang mewah dan menyenangkan. Pandangan bahwa metropolitan amat erat hubungannya dengan kemewahan memang menjadi sebuah definisi publik yang terus berkembang seiring dengan perkembangan daerah yang disebut metropolitan itu sendiri. Tapi apakah benar metropolitan hanya memiliki makna demikian?
Oke, lagi-lagi sebuah pelajaran berharga saya dapatkan dari Papa Panda (lihat postingan yang udah lalu). Kala itu kami mendiskusikan mengenai MAN alias metropolitan area network hingga sampailah kami pada pembicaraan apa sih metropolitan itu? Ketika kami ditanya pertanyaan itu satu persatu, sebagian besar langsung tersangkut pada kehidupan yang serba gemerlap. Awalnya saya juga beranggapa bahwa metroolitan erat kaitannya dengan kehiudpan yang glamor. Tapi begitu terkejutnya kami manakala Papa Panda mengungkapkan realita metropolitan.
Papa Panda memulai pembahasan itu secara etimologi, metropolitan, metro dan polite. Polite.... kata-kata begitu menusuk ketika Papa Panda membandngkan dengan realita. Menurut Papa Panda, definisi metropolitan adalah kota atau tempat di mana orang-orang sopan berkumpul orang-orang ini sopan karena telah mendapat akses pendidikan lebih daripada orang-orang yang lain. Jadi, sebenarnya yang dimaksud metropolitan adalah tempat yang penuh dengan orang sopan. Tapi, apa yang terjadi di metropolitan sekarang ini?
Sangat susah untuk mencari yang dimaksud dengan orang sopan di sini. Memang masih ada, banyak mungkin orang-orang tersebut. Tapi selama ini yang saya lihat, kebnayakan orang enggan untuk menggunakan kesopanannya. Banyak orang berperilaku seenaknya sendiri dan menagbaikan nilai-nilai ketimuran yang sangat dijunjung Indonesia. Gelinya lagi, orang-orang yang kita sebut anggota dewan dan para pemegang jabatan penting menunjukkan perilaku yang demikian tidak sopan. Apakah sopan ketika mereka tidur di kala sidang? Atau saling berteriak ketika sidang beerlangsung dan bahkan melakukan kekerasan agar pendapatnya diterima? Sebagai masyarakat awam saya menilai tindakan itu sangat tidak sopan, karena mereka mengabakan peraturan-peraturan yang sudah tertata rapi daalam bentuk aturan-aturan rapat. Tapi ya...kadang kondisi memaksa kita untuk berperilaku tidak sopan. Contohnya saja ya, ketika kita menekan klakson di kemacetan ibukota. Secara teori, membunyikan klakson itu bisa berarti marah. Di luar negeri, menekan klakson berarti berteriak dan itu merupakan tindakan yang kurang sopan. Tapi lihat, deh, kemacetan ibukota memang membuat marah. Jadi saya anggap sih, ada semacam excuse untuk hal itu.
Kesopanan itu memang tidak hanya dalam bentuk perilaku yang pantas dilihat, ada banyak sebenarnya yang dimaksud dengan kesopanan. Tapi berhubung saya sendiri bukan termasuk orang yang sopan, jadi niat saya juga kurang berkapasitas untuk menyuruh orang untuk bersopan-sopan. Tapi sebagai seorang pengamat awam, saya merasakan bahwa suasana penuh kesopanan jarang saya dapatkan di metropolitan. Kalaupun ada, seringkali itu sekedar harmoni palsu yang diciptakan oleh para penjilat. Saya juga kurang mengerti apakah kesopanan itu menghilang lantaran kondisi yang tidak mendukung atau bagaimana. Tapi saya sekarang mencari orang yang bisa menjadi role model dalam berperilaku sopan. Kira-kira adakah yang merekomendasikan diri??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H