"Memupuk spiritualitas anak dengan mengaji adalah menjadi salah satu bekal anak untuk ke depannya."
Berbicara soal guru yang melekat dengan julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Memang ada nyatanya, namun tidak semuanya guru seperti itu.Â
Ada klasifikasi guru yang mengajar dengan tulus dan bersuka cita, ada pula yang mengajar dengan bermaksud mendapatkan gelar dan upah semata.Â
Walaupun memang terkesan realistis. Tapi ketahuilah, siapa yang memberikan ilmu dengan tulus, ilmu itu akan selalu melekat di hati para muridnya. Itu sudah menjadi hukum alam.
Kisah inspiratif ini, nyata terjadi di kehidupanku. Yang mana sejak saat kecil, aku mempunyai guru ngaji yang sangat luar biasa.Â
Guru ngajiku bernama Ibu Siti Muhimmah. Beliau adalah tetangga belakang rumahku. Mbah Him, itulah panggilan akrabku terhadapnya.
Sebelum aku belajar mengaji di Mbah Him, aku sempat mengaji di salah satu guru Madrasah Ibtidaiyahku dulu yang bernama Bapak Ali Imron.Â
Tidak jauh berbeda dengan Mbah Him, beliau memiliki karakter yang baik, sabar, tegas, dan cara mengajari murid-muridnya mengaji sangat telaten dan jelas. Tidak heran kalau para santrinya paham dan lanyah untuk mengaji.
Karena suatu keadaan, akhirnya Ibuku untuk pindah mengaji yang semula ke Pak Ali, beralih ke Mbah Him.
Karena beberapa alasan yang menyertai, salah satunya karena sudah terlalu banyak murid-murid beliau yang ingin mengaji. Sedangkan waktu itu aku masih berumur 4 tahun.
Sekilas biografi dari Mbah Him. Beliau merupakan istri dari Bapak Mudhofar yang berasal dari Lasem, Jawa Tengah sedangkan Ibu Siti Muhimmah yang berasal dari Tuban, Jawa Timur. Berkat pernikahan tersebut, Mbah Him memiliki 4 anak, yakni 2 putra dan 2 putri.