Mohon tunggu...
Ayu YosefinaMarpaung
Ayu YosefinaMarpaung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Halo, saya Ayu Yosefina Marpaung.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Upaya For-sogi dalam Memperjuangkan Legalisasi Hak Lgbtq di Thailand

5 Desember 2024   20:29 Diperbarui: 5 Desember 2024   20:54 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Ayu Yosefina Marpaung

Thailand adalah negara dengan mayoritas penduduk yang menganut agama Buddha. Kepercayaan ini memiliki pengaruh besar terhadap nilai-nilai dalam sistem konstitusi Thailand, yang beroperasi di bawah Monarki Absolut hingga abad ke-19. Pada masa Monarki Absolut, sekitar abad ke-14, mulai muncul perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual di masyarakat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya budaya homoseksual, terutama di lingkungan kerajaan Thailand. Pada abad ke-19, masyarakat Thailand menunjukkan kecenderungan androgini dalam hal gaya berpakaian dan tatanan rambut. Perubahan besar terjadi pada abad ke-20, ketika sistem pemerintahan bergeser dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. 

Perubahan sistem pemerintahan Thailand terjadi pada tahun 1932, dipicu oleh kudeta militer sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang melanda negara tersebut. Kudeta ini mengakhiri kekuasaan Raja Prajadiphok dan menandai awal keterlibatan militer dalam pemerintahan (Handley, 2006). Di abad ke-20, toleransi budaya terhadap perilaku homoseksual mulai berubah seiring transisi dari monarki absolut ke monarki konstitusional. Pergeseran ini dipengaruhi oleh tekanan dari kekuatan kolonialisasi Barat yang mendorong elite Thailand untuk memulai proses westernisasi, dimulai dari aspek identitas seksual dan gender.

Pada tahun 1932, perubahan sistem pemerintahan Thailand dari monarki absolut ke monarki konstitusional terjadi melalui kudeta militer yang dipicu oleh depresi ekonomi. Kudeta ini mengakhiri kekuasaan Raja Prajadhipok dan membuka jalan bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan (Handley, 2006). Perubahan tersebut membawa dampak signifikan terhadap kultur toleransi terhadap homoseksualitas. Tekanan dari kekuatan kolonialisasi Barat mendorong elite Thailand untuk memulai proyek westernisasi, yang salah satu fokusnya adalah identitas seksual dan gender. Pemerintah mulai menerapkan aturan ketat terkait penampilan masyarakat berdasarkan gender. Perempuan diwajibkan mengenakan rok, sementara pria harus memakai celana panjang, sebagai upaya menekan identitas LGBT (Harrison & Jackson, 2010). 

Dalam konteks westernisasi, norma yang dianggap "normal" harus sesuai dengan standar baku, sehingga perilaku LGBT yang dianggap menyimpang dipandang sebagai hambatan bagi modernisasi Thailand. Kolonialisasi Barat memperkenalkan konsep homonormativitas, yang terkait dengan identitas gay dan queer (Walks, 2014). Dampaknya, homofobia semakin berkembang di masyarakat, mengakibatkan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum LGBT serta perubahan dalam konstruksi sosial Thailand.

Modernisasi yang diusung Thailand melalui peralihan ke sistem pemerintahan monarki konstitusional membawa perubahan signifikan dalam pandangan masyarakat terhadap kaum LGBT. Pandangan ini berujung pada diskriminasi sosial dan ekonomi terhadap mereka, yang dianggap sebagai kelompok dengan perilaku menyimpang. Situasi ini diperburuk oleh pemberitaan media yang sering menyajikan isu LGBT secara sensasional, sehingga memperkuat stigma negatif. 

Kekhawatiran masyarakat semakin meningkat dengan munculnya epidemi HIV/AIDS, yang mulai merebak di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM) sejak tahun 1984. Penyakit ini sering dianggap sebagai "kutukan" yang tidak dapat disembuhkan dan dikaitkan erat dengan perilaku homoseksual. Peningkatan prevalensi HIV/AIDS di kalangan MSM sangat signifikan, melonjak dari 0% hingga 49% dalam satu tahun (WHO, 2012), yang memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT di Thailand.

Suburnya diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum LGBT di Thailand disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung memojokkan kelompok ini. Perubahan sistem pemerintahan yang baru menghapuskan kepercayaan lama tentang keberadaan tiga jenis gender dan seks, yang sebelumnya diakui dalam budaya Thailand. Berdasarkan data, populasi LGBT di Thailand diperkirakan mencapai 300.000 wanita dan 30.000 pria (Winter, 2009). 

Kondisi ini memicu keprihatinan berbagai NGO yang berfokus pada isu hak asasi manusia. Sebagai respons, NGO-NGO ini seperti Rainbow Sky Association, Purple Sky, Foundation for SOGI Rights and Justice (FOR-SOGI), dan Anjana Suvarnananda mulai membentuk jaringan transnasional untuk memperkuat perjuangan mereka dalam membela hak-hak kaum LGBT di Thailand. Jaringan advokasi transnasional di Thailand fokus pada isu hak asasi manusia bagi kaum LGBT, menentang segala bentuk diskriminasi yang mereka alami. Tujuan utama dari gerakan ini adalah menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Thailand. Perjuangan mereka dimulai dari tingkat lokal dengan pendekatan langsung ke masyarakat melalui metode persuasif. Kemudian, gerakan ini diperluas ke tingkat internasional dengan melibatkan dukungan dari organisasi internasional di luar Thailand, memperkuat upaya mereka dalam memperjuangkan hak-hak LGBT. 

Keberhasilan jaringan advokasi ini semakin diperkuat dengan kembalinya nilai dan norma ajaran Buddha yang sempat terpinggirkan. Kebangkitan nilai-nilai tersebut membantu masyarakat menerima kebijakan terkait hak-hak LGBT, karena mereka mulai menyadari adanya keselarasan antara nilai-nilai tradisional Buddha dengan prinsip kesetaraan dan keadilan. Hal ini menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi penerimaan LGBT Rights dalam konteks nilai-nilai domestik Thailand.

David Lewis dan Nazneen Kanji (2001) mengidentifikasi tiga peran utama yang dimainkan oleh NGO dalam kegiatan mereka, yaitu sebagai pelaksana (implementers), katalis (catalysts), dan mitra (partners). Menurut mereka, banyak NGO yang terlibat dalam lebih dari satu peran, atau bahkan menjalankan ketiga peran tersebut secara bersamaan.

  1. Pelaksana (Implementers): Sebagai pelaksana, NGO berperan dalam memobilisasi berbagai sumber daya untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tertentu. Peran ini mencakup berbagai isu, seperti kesehatan, keuangan, pertanian, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia. NGO sebagai implementer biasanya menjalankan program sesuai dengan tujuan mereka atau perjanjian yang telah disepakati dengan pihak-pihak yang terlibat, baik itu pemerintah, sektor swasta, atau pendonor. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa pelatihan, penelitian, atau pemberian bantuan langsung.
  2. Katalis (Catalysts): Sebagai katalis, NGO berfungsi sebagai agen perubahan yang dapat menginspirasi, memfasilitasi, dan mendorong perubahan dengan mempromosikan norma dan nilai baru. Peran ini memungkinkan NGO untuk berkontribusi dalam menciptakan perubahan dalam berbagai masalah yang ada, baik itu pada individu, kelompok masyarakat, atau aktor lainnya seperti pemerintah, sektor swasta, dan donor. NGO dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebijakan melalui pendekatan yang lebih strategis.
  3. Mitra (Partners): Dalam peran sebagai mitra, NGO berkolaborasi dengan berbagai pihak atau aktor lain dan berbagi risiko dalam upaya yang dilakukan bersama. Kerja sama ini melibatkan hubungan antara NGO dan pemerintah, donor, atau sektor swasta, dengan tujuan untuk menjalankan proyek atau program yang lebih luas. Sebagai mitra, NGO terlibat dalam memberikan masukan, merancang kebijakan, dan berpartisipasi dalam program bersama untuk mencapai tujuan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun