Kami langsung menuju kantor penerimaan mahasiswa baru, aku hanya mengikuti langkah ayah dan ibu. Aku sudah pasrah. Tidak bertenaga rasanya. Setelah daftar, aku mengikuti tes tulis dan wawancara. Aku hanya menjawab soal yang aku tahu dan tidak memusingkan soal yang jawabannya tidak aku tahu. Saat diwawancara juga aku hanya asal jawab saja. Begitulah, aku memang tidak niat. Setelah selesai kami langsung pulang. Aku merasa lelah sekali hari ini seperti habis kerja berat. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar.
Beberapa hari kemudian ada pengumuman bahwa aku lolos. Dikirim juga pemberitahuan bahwa aku harus mengikuti propeka --program perkenalan kampus- dan segala macam persyaratannya. Dan juga ternyata aku harus masuk asrama selama setahun, itu sudah program dari kampus untuk mahasiswinya. Biar kugambarkan, SEBI adalah kampus mungil. Kampus perjuangan, kampusnya para juara katanya. Ada hijab --jarak- antara ikhwan dan akhwat. Itu panggilan untuk cowok dan cewek disini, yang sepertinya berasal dari bahasa arab. Ada standar pakaian untuk akhwat.Â
Jilbab panjang, manset, kaus kaki, rapat sekali. Kalimat yang telah menjadi ciri khas anak SEBI adalah "tersesat di jalan yang benar". Ya, banyak yang tidak ada basic ekonomi, apalagi ekonomi islam, tetapi masuk ke kampus ini. Aku lucu saja mendengarnya. Maksudku, mereka kan bisa masuk perguruan tinggi yang memang basic mereka. Setidaknya begitu pemikiranku pada awalnya.
Aku benar-benar kesal karena aku pikir aku tidak akan lolos. Berbeda denganku, ayah sangat senang mendengarnya. Dia memelukku erat, ibuku juga. Aku berpikir, "Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka sangat ingin aku masuk ke kampus itu?". Aku pasrah saja, aku seperti tidak berdaya untuk menolak lagi. Aku dan ibu menyiapkan segala sesuatu untuk kepindahanku ke asrama. Aku agak sedih dan khawatir karena sebelumnya aku tidak pernah tinggal di asrama. Tiga hari sebelum propeka aku pindah ke asrama.Â
Asrama yang aku tempati seperti rumah biasa, ada 4 kamar dengan 4 orang di dalamnya. Tidak seperti asrama lain yang seperti kos-kosan. Ayah, ibu, dan adikku mengantarku. Aku menangis saat akan berpisah dengan mereka. "Baik-baik ya disini, semangat kuliahnya." kata ayah. "Jaga makan dan jaga kesehatan ya." kata ibu sambil memelukku. Mereka pun pulang.Â
Aku langsung kembali ke kamar. Disana aku bertemu dengan teman sekamarku. Siti Khadijah namanya. Kita berkenalan seperti biasa. Lalu aku memasukkan baju-bajuku ke dalam lemari, sambil berpikir "Apa aku bisa cocok dengan mereka?". Malamnya kami semua berkumpul. Kami perkenalan, ada 12 orang dan 2 orang kakak pendamping --musyrifah-.
 Aku baru tahu istilah musyrifah disini. Kami ditanya asal daerah dan asal sekolah. Banyak yang berasal dari luar pulau jawa. Ditanya juga jumlah hafalan Qur'an. Banyak dari mereka yang ternyata hafidzah 30 juz. Saat ditanya, aku menjawab "Saya belum punya hafalan kak." Aku pikir aku akan akan biasa saja tetapi ternyata aku merasa malu saat ditanya dan aku tidak punya hafalan sama sekali, ya kecuali surat-surat pendek.
Aku sudah melewati propeka, sama seperti ospek biasa tetapi aku lebih merasakan kekeluargaannya. Kegiatan belajar dan mengajar juga sudah dimulai. Aku mengambil jurusan Akuntansi Syariah, ya tentu saja disuruh oleh ayah. Besoknya ada tes membaca Al-Qur'an untuk program tahsin dan tahfidz asrama. Aku disuruh membaca surat Maryam. Tentu saja aku terbata-bata, seingatku terakhir aku membaca Al-Qur'an saat ramadhan tahun lalu. Lalu aku masuk kelompok tahsin. Selama 2 minggu kami diajarkan tajwid. Setelah itu disuruh menghafal surat An-Naba.Â
Aku sangat merasa kesulitan sampai menangis tiap menyetorkan hafalan, "Gapapa, kakak juga sering kok nangis saat pertama menghafal. Kalau kamu merasa sulit banget padahal kamu udah ulang-ulang bacaannya, itu artinya Allah mau kamu lebih lama berinteraksi dengan Al-Qur'an. Dalam proses menghafal yang penting itu sabar, jangan merasa kesal karena gak hafal-hafal, nanti kalo kamu kesal malah jadi nggak mau menghafal lagi." nasihat musyrifah mencoba menguatkanku.
 Aku mulai berpikir ke belakang, memang aku sangat jarang membaca Al-Qur'an, sholatku juga masih bolong-bolong dan saat sholat pun aku hanya membaca surat pendek. Aku sangat jarang berinteraksi dengan Allah. Aku merasa frustasi dan merasa ini benar-benar bukan tempatku. Aku iri dengan yang lain karena mudah sekali dalam menghafal. Aku menyesal karena tidak pernah masuk pesantren dulu. Aku benar-benar payah dan tidak mau melakukan ini lagi. "Ngapain sih ayah mengirimku kesini?" gumamku kesal. Besoknya aku bertanya pada teman sekelasku yang seorang hafidzah, bagaimana metode mereka dalam menghafal. Jawabannya rata-rata sama, harus ikhlas dari hati. Aku langsung berpikir, "Bagaimana mau ikhlas dari hati? aku masuk kesini saja karena paksaan orang tua."
Jadwal perpulangan asrama sebulan sekali. Aku pulang dan bercerita pada ayah dan ibu tentang kesulitanku. Tetapi mereka tidak mau mengerti dan malah tetap menyuruhku bersabar dan bertahan di tempat itu. "Kamu tidak bisa karena belum terbiasa saja," kata ayah. Aku benar-benar marah, maksudku, ini hidupku dan aku sungguh tidak bisa menjalani apa yang ayah mau. Aku langsung menangis dan mengambil kunci motor. Tidak tahu tujuan, aku hanya kesal berada di rumah. Aku dengar ibu teriak memanggil tetapi tidak aku hiraukan. Aku langsung pergi keluar jalan raya.Â