Mohon tunggu...
Ayu FitriKhairunnisa
Ayu FitriKhairunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

we rise by lifting order

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Prediksi Ivan Illich Mengenai Pendidikan di Masa Pandemi COVID-19

28 Desember 2021   09:07 Diperbarui: 28 Desember 2021   12:59 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ivan Illich salah seorang filsuf Austria pernah memprediksi akan adanya monopoli legitimasi oleh sistem pendidikan sekolah dalam paradigma pendidikan dunia. Banyak juga dari kritiknya yang masih relevan hingga sekarang. Salah dua yang akan dibahas yaitu mengenai sekolah bukanlah satu-satunya tempat untuk mendapatkan pendidikan dan biaya pendidikan yang mencekik golongan bawah.

Indonesia mendapatkan kasus covid-19 pertama pada awal Maret 2020. Pemerintah langsung mengambil tindakan preventif untuk menghindari penularan virus corona dengan melakukan edukasi kesehatan secara berkala kepada masyarakat dan mengeluarkan peraturan untuk social distancing, memakai masker, serta menjaga kebersihan. Kemudian, pada akhir Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) – Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan belajar di jenjang SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi dengan konsep Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring dan luring.

Kebijakan ini dituangkan di dalam surat edaran (SE) No. 4 tahun 2020 pada tanggal 24 maret 2020. Hal ini dilakukan oleh Nadiem untuk memprioritaskan kesehatan para peserta didik, pendidik, dan seluruh warga sekolah, serta mengupayakan keberlangsungan pendidikan di Indonesia. Kebijakan tersebut dengan cepat ditinjaklanjuti oleh Kepala Dinas Pendidikan dan para kepala sekolah maupun rektor dengan mengeluarkan surat edaran yang disebarluaskan sehingga dapat diterima secara langsung kepada seluruh orangtua dan peserta didik.

Pembelajaran Jarak Jauh menggunakan berbagai macam perangkat teknologi dan platform yang telah terkoneksi dengan internet untuk saling terhubung satu sama lain dan melakukan aktivitas pembelajaran layaknya di sekolah. Sebenarnya, bukanlah sebuah hal baru tentang kombinasi antara teknologi dan pendidikan di Indonesia. Karena, sistem pembelajaran di Universitas Terbuka (UT) sudah dari dulu menerapkan metode pembelajaran blended learning atau e-learning. Hanya saja, momentum untuk pengkolaborasian teknologi dan pendidikan baru dapat dirasakan ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia.

Rumah menjadi bertambah fungsi, yakni tempat bertemunya pendidik dan peserta didik yang bersifat artifisial. Ruang kelas secara fisik atau nyata tergantikan dengan ruang secara virtual (realitas semu). Dalam arti lain, realitas sebenarnya digantikan ke dalam realitas semu namun tetap mempresentasikan kenyataan yang sebenarnya. (Ritzer dan Goodman, 2001) ruang-ruang virtual ini bisa menghubungkan individu tanpa kontak fisik menjadi suatu simulasi proses pendidikan, yakni kegiatan pembelajaran sebagaimana yang nyata; mengisi presensi, melakukan pembelajaran, diskusi, penilaian, dan evaluasi.

Merefleksi dari momentum pandemi covid-19 di Indonesia, Sekolah bukanlah satu-satunya tempat untuk mendapatkan pendidikan. Saat ini semakin banyak media sosial yang mendukung peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai pengetahuan. Ditambah dengan adanya waktu luang yang cukup banyak membuat peserta didik memiliki kebebasan untuk lebih jauh mempelajari minat dan bakat yang selama ini sulit dikembangkan karena waktu yang begitu sedikit dimiliki. Bahkan Jerome Polin dalam podcast milik Deddy Corbuzier pun mengatakan bahwa jam sekolah (saat sekolah offline) di Indonesia membuat peserta didik sulit untuk mengeksplorasi minat dan bakat yang ada di dalam setiap diri peserta didik.

Menurut Illich, sekolah pun diam-diam menanamkan pandangan kepada peserta didik bahwa kesuksesan hanya akan dapat diraih melalui pendidikan di sekolah. Gelar dan pangkat yang diraih selama pendidikan selesai digadang-gadang akan membantu mereka dalam mencari pekerjaan. Dan hal itu lah yang tertanam di masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang.

Dibalik pandangan yang diberikan oleh sekolah, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa mengecap pendidikan tersebut. Nominal yang dikeluarkan tidaklah sedikit, alias hanya kaum elite sajalah yang mampu untuk membayar pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi. Dan itu membuat masyarakat golongan bawah sulit untuk mencapai perubahan dan semakin terlihat jelas kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin. Apalagi di masa pandemi covid-19 ini, banyak anak sekolah yang harus putus sekolah karena biaya sekolah terasa begitu mencekik disaat orangtua mereka banyak yang kehilangan pekerjaan sedangkan kebutuhan sekolah justru semakin ekstra karena harus membeli kuota.


Ayu Fitri Khairunnisa mahasiswi Pendidikan Sosiologi A 2019, Universitas Negeri Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun