Mohon tunggu...
Ayu Ranee
Ayu Ranee Mohon Tunggu... profesional -

Penulis lepas, guru, -Jakarta -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mencari Keadilan di Negeri Antah Berantah

7 Agustus 2014   06:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:12 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersebutlah beberapa kisah tentang hukum dan keadilan di negeri antah berantah.

Tahun 2009, di Banyumas, Nenek Minah, 55 tahun,  divonis hukuman satu bulan 15 hari penjara hanya karena mencuri tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) - yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan sang nenek rentah ini sudah mengembalikan kakao tersebut ke petugas keamanan. Di mata hukum dia tak berdaya, tetapi adilkah memenjarakannya?

Tahun 2011, di Surabaya, seorang pemuda sebut saja Syamsul, 23 tahun, menempuh jarak ribuan kilometer dengan mengendarai motornya menuju Jakarta untuk mengadukan nasibnya yang naas akibat salah tangkap. Ketika dia sedang bekerja di perusahaan mebel tempatnya mencari nafkah, tiba-tiba, tanpa surat penahanan dia digelandang ke Polsek Rungkut, Surabaya. Di sana, dia dihajar, dipukul dan dipaksa mengaku mencuri TV milik tetangganya. Tanda tangannya dipalsukan di BAP, dan diapun ditahan selama enam bulan. Pada persidangan, Syamsul dinyatakan tak bersalah dan bebas demi hukum. Tetapi dia telah menjalani hidup dalam kurungan dan orang pun telah mencapnya sebagai pencuri. Di manakah keadilan?

Tahun 2012, di Palu, seorang remaja berusia 15 tahun disidangkan karena mengambil sandal gunung milik seorang anggota kepolisian. Sang remaja berdalih bahwa dia mengambil sandal yang tergeletak di jalan depan rumahnya itu karena dia pikir itu sandal tidak bertuan. Temannya pun memberikan kesaksian demikian. Pada saat persidangan, sandal yang dihadirkan sebagai barang  bukti ternyata berbeda baik ukuran maupun mereknya. Apalah daya, di mata hukum sang remaja didakwa dengan pasal pencurian 362 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun. Meskipun pada akhirnya sang remaja dikembalikan pada orang tuanya mengingat usianya yang masih di bawah umur, namun dia telah diputus BERSALAH.

Tahun 2013, di Jakarta, seorang anak menteri berusia 22 tahun, yang kini ayahnya sibuk memperebutkan kursi wakil presiden,  dengan mobil BMW-nya menghantam mobil Daihatsu Luxio yang ada di depannya. Dua orang tewas, tiga lainnya terluka parah. Rasyid tetap dinyatakan bersalah melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Lalu Lintas akibat mengendarai kendaraan dengan lalai dan subsider Pasal 310 Ayat (2). Namun, ia tidak perlu masuk penjara karena pertimbangan restorative justice - semacam tindakan mengganti biaya pemakaman, pengobatan dan pemberian santunan. Terusikkah rasa keadilan  rakyat mendengarnya? Tak berapa lama, kasus serupa kemudian terjadi pada anak seorang musisi terkenal - Ahmad Dhani.

Di pertengahan tahun 2014, di tengah riuh-rendah pesta demokrasi sekaligus sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, dua orang staf Jakarta International School, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong ditahan oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan tindakan pelecehan seksual di sekolah tersebut. Penahanan dua staf ini memang merupakan rentetan dari masalah pelecehan seksual yang telah mencuat sejak bulan Maret lalu. Enam pegawai kebersihan ISS (perusahaan outsourcing) telah ditahan, satu orang bunuh diri.

Sejak awal tak pernah disebutkan ada keterlibatan staf dalam kasus ini, namun di awal bulan Juni menjelang musim libur sekolah,  dengan tiba-tiba tuduhan itu dilancarkan oleh seorang Ibu yang menurut “pengakuan” anaknya yang duduk di bangku TK di sekolah tersebut telah menjadi korban tindakan asusila oleh dua staf  tersebut. Yang menarik dari penahanan dua staf ini adalah tak ada bukti kuat yang bisa ditunjukkan oleh polisi selama masa penyidikan sehingga dua staf ini layak ditahan kecuali “aduan” dari seorang bocah berusia enam tahun. Bahkan terasa janggal mengingat Neil adalah staf bagian kurikulum sedangkan Ferdi adalah asisten guru kelas satu. Pada kesempatan apa mereka bisa “mengerjai” anak TK itu? Susah dinalar. Seringkali begitulah hukum di negeri ini.

Komunitas JIS pun memprotes ketidakadilan ini, bahkan dunia internasional pun sedang ramai memperbincangkannya khususnya di dunia maya. Sebagai institusi pendidikan yang bergengsi, JIS sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun terhadap anak, karena itu JIS tidak akan melindungi bila memang ada staf-nya yang terbukti pedophil. Tetapi sebaliknya, JIS  tentu memberikan pembelaan dan dukungan yang sepenuhnya karena merasa yakin 100% bahwa dua staf tersebut sama sekali tidak bersalah. Dua staf ini telah menjadi korban demi sebuah ambisi memperjuangkan tuntutan ganti rugi senilai 125 juta dollar US yang diajukan oleh ibu korban. Di mana keadilan bagi Neil dan Ferdi?

Keadilan dan hukum seringkali tak pernah bertemu di negeri ini. Padahal hanya lewat legalitas hukumlah, rakyat bisa memperjuangkan keadilan. Bila hukum seringkali mencederai keadilan, lantas kemana kita harus mencari keadilan?  Hukum dalam prakteknya tidak lebih dari permainan orang-orang yang mempunyai uang dan kekuatan. Padahal,  para penegak hukum melalui polisi, jaksa, hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara seharusnya  berdasarkan kebenaran dan berdasarkan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.  Begitu pun polisi dalam melakukan penahanan.

Pengertian penahanan menurut W.J.S Poerwodarminta, ahli perkamusan Indonesia, perbuatan menahan ialah mengurung atau memenjarakan orang. Dari dua pengertian tersebut, pada hakekatnya penahanan merupakan perbuatan penyidik, atau penuntut umum, atau hakim untuk menahan tersangka atau terdakwa dalam tempat tertentu yaitu rumah tahanan Negara, rumah tinggal kediaman tersangka atau kota tempat tinggal kediaman tersangka atau terdakwa. Penahanan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang yang merupakan hak asasi manusia. Tindakan penahanan semestinya dilakukan dengan kehati-hatian, karena bila tidak, penahanan bisa saja terjadi pada orang-orang yang tidak bersalah, seperti yang diyakini oleh komunitas JIS saat ini. Apa akibat yang diderita oleh korban salah tangkap? Tentu tak ternilai dengan apapun di dunia.

Peristawa salah tangkap atau terlanjur menahan orang yang tak bersalah  bukanlah hal pertama yang terjadi di negeri antah berantah ini.

Keadilan adalah sebuah kata yang sederhana namun seringkali kompleks dalam kenyataannya. Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Menurut hukum, seorang nenek yang mencuri buah kakao dalam kisah di atas tentu bersalah. Tetapi menurut rasa keadilan dengan definisi Aristoteles ini semestinya hakim mempertimbangkan faktor manusianya. Seorang nenek yang sudah rentah, dengan kehidupannya yang sangat menderita, tidak mampukan mengetuk hati nuraninya?

Untuk memperjuangkan rasa keadilan di negeri antah berantah ini, para penegak hukum mestinya belajar dari kisah Socrates, seorang filsuf kenamaan. Suatu ketika Socrates ditahan dengan tuduhan melakukan sebuah kejahatan. Para penegak hukum sangat teguh pendirian dan tidak tergoda oleh bujuk rayu yang mencoba menyuap mereka. Adalah Creto, murid Socrates, kala itu berusaha menyuap para penegak hukum itu demi bisa membebaskan gurunya. Namun apa kata Socrates ketika muridnya menceritakan hal ini kepadanya? Socrates mengingatkan muridnya, “Keadilan harus ditegakkan, keadilan harus berlaku untuk semua (justice for all). Mereka yang ditahan bukan tidak mungkin seperti aku yang jelas  tidak bersalah, tetapi dengan menyuap akan membuka peluang bagi orang lain di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yaitu menegakkan keadilan dengan cara kejahatan.”

Di negeri antah berantah ini, suap menyuap seakan sudah menjadi budaya. Siapa yang mempunyai uang dialah yang menang. Hukum dan keadilan seringkali tak sejalan. Banyak perkara kandas di tengah jalan, terlupakan atau sengaja dilupakan. Mencari keadilan ibarat menunggu kucing tumbuh tanduk di kepalanya, menggantikan kedua telinganya. Mungkin?

Bagaimana menurut anda?

Jakarta, 6 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun