Perkembangan zaman yang semakin modern membuat teknologi ikut terus berkembang memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini tentu membawa perubahan pada diri seseorang khususnya cara berkomunikasi dengan orang lain. Pada era kesukuan (tribal) seorang individu berkomunikasi secara lisan dan bertatap muka, maka pada era digital ini, mereka tidak lagi harus bertemu dengan lawan bicara untuk menyampaikan pesan, karena alat komunikasi seperti smartphone menjadi perangkat yang mampu mengantarkan pesan tersebut dalam hitungan detik (Hanika, 2015).Â
Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (laman apjii.or.id, 2018) menunjukkan smartphone menjadi perangkat paling banyak digunakan pengguna saat mengakses internet daripada komputer atau laptop. Di area perkotaan (urban) kepemilikan smartphone mencapai 70,96%, sedangkan penggunaan lainnya hanya mencapai 31,55%.
 Smartphone dengan dilengkapi berbagai fitur menambah kemudahan para penggunanya, seperti berkomunikasi melalui dunia maya (virtual), mencari hiburan atau informasi, dan berbagi aktivitas sehari-hari melalui jejaring sosial. Tak jarang dijumpai, seseorang tidak hanya menggunakan smartphone yang dimiliki untuk mengisi kekosongan, namun berlanjut ketika melakukan dua percakapan secara bersamaan, yaitu komunikasi secara langsung dan dalam dunia maya, ketika sedang makan malam bersama atau kegiatan lain menempatkan smartphone didekatnya untuk berjaga-jaga, dan tidak bisa melewati pertemuan tanpa memeriksa smartphone terlebih dahulu (Timothy, 2018).
 Timothy (2018) menunjukkan bahwa seseorang yang fokus dengan smartphone yang dimiliki saat bersama orang lain menjadi ancaman empat kebutuhan dasar yang berdampak pada kesehatan mental, yaitu belongingness, self-esteem, meaningful existence, dan control karena lawan bicara merasa ditolak, diasingkan, dan dianggap tidak penting.
Sementara itu, Ducharme (2018) menunjukkan bahwa seseorang yang memotong pembicaraan lawan bicara untuk melihat smartphone-nya membuat komunikasi dua arah merasa kurang terhubung, dapat merusak kesehatan mental, tidak baik untuk siapapun karena lawan bicara merasa sakit hati, dan dapat merusak reputasi karena dianggap kurang sopan bila dilakukan. Fenomena ini dikenal dengan phubbing. Istilah phubbing berasal dari kata "phone" dan "snubbing".Â
Menurut Karadag (2015) phubbing adalah perilaku seseorang yang melihat teleponnya saat percakapan dengan orang lain, berurusan dengan teleponnya dan menghindari komunikasi antar pribadi. Hasil penelitian dari Ugur dan Koc (2015) menjelaskan bahwa 349 mahasiswa di Turki, sekitar 95% mengakui mereka menggunakan smartphone dan melakukan phubbing di kelas setidaknya sekali atau dua kali, dan 32% melakukannya setiap hari. Mereka juga memperhatikan temannya yang melakukan phubbing di kelas, 98% responden mengatakan mereka memperhatikan temannya melakukan phubbing setidaknya sekali atau dua kali dan 41% mengatakan mereka memperhatikannya setiap hari. Â
Dampak dari phubbing ini menunjukkan tingkat relationship satisfaction dan kepercayaan lawan bicara menjadi kurang bermakna dan empati akan berkurang ketika salah satu individu menggunakan smartphone (Przybylski & Weinstein, 2013; Roberts & David, 2016). Hasil penelitian Wang et al (2017) pada orang dewasa China yang sudah menikah menunjukkan bahwa partner phubbing (p-phubbing) memiliki hubungan yang negatif dengan relationship satisfaction dan memiliki hubungan yang positif dengan depresi. Artinya, jika p- phubbing memiliki tingkat rasa terabaikan yang tinggi oleh pasangannya maka akan berdampak pada menurunnya kepuasan terhadap hubungan mereka yang mengakibatkan p-phubbing mengalami depresi.Â
Salah satu cara yang dapat digunakan dalam mengatasi fenomena phubbing adalah dengan pendekatan konseling Islami. Pemahaman mengenai konseling Islam tidak terlepas dari penjelasan awal mengenai konseling dalam Islam itu sendiri. Konseling Islam menurut Musnamar (dalam Farid dan Mulyono, 2010) adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kehidupan di dunia dan di akhirat.Â
Hakekat bimbingan dan konseling Islami adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah-iman dan atau kembali kepada fitrah-iman, dengan cara memberdayakan (enpowering) fitrah-fitrah (jasmani, rohani, nafs, dan iman) mempelajari dan melaksanakan tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fitrah-fitrah yang ada pada individu berkembang dan berfungsi dengan baik dan benar. Pada akhirnya diharapkan agar individu selamat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati di dunia dan akhirat (Gudnano, 2014).Â
Ayu wulan sari (2022A1H026)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H