Mohon tunggu...
Ayu Saptarika
Ayu Saptarika Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Novelis '3 ON 3', BusDev, Traveller, Instagram: @ayuliqui

For writing inquiries DM my Instagram @ayuliqui. Book sell at Kinokuniya Grand Indonesia. E-book '3 ON 3' at Lontara Apps.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasih Ibu Sedari Dulu hingga Zaman "Now"

22 Desember 2017   17:03 Diperbarui: 22 Desember 2017   17:05 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis Selfie Bersama Ibunda Saat Bepergian Bersama. Sumber : Dok. Pribadi

Tidak ada ibu yang selalu sempurna. Yang ada adalah ibu yang luar biasa bagi anak-anaknya. Pengalaman baik maupun buruk dengan Ibu, keduanya memiliki pelajaran yang bisa direnungkan. Saya yakin, hampir masing-masing dari kita akan berkata "Ibu saya tiada duanya!" Saya juga setuju dengan ungkapan itu. Mulai dari tiada duanya untuk urusan masak, belanja, bersolek, sampai tiada duanya untuk urusan berkarir, mengurus anak, dan beres-beres rumah. Setiap ibu pasti punya style masing-masing yang membuat dunia berwarna, setuju?

Saya adalah anggota generasi millenials. Banyak teman seangkatan sudah berkeluarga dan mulai punya anak. Sepertinya baru kemarin kami lulus SMA, jadi mahasiswa, dan diwisuda. Tapi, waktu berlalu cepat. Dulu saya bersekolah di SMA yang isinya perempuan semua, serunya cerita jadi anak kini mulai berubah cerita jadi ibu yang sering kami diskusikan bersama. Ibu-ibu kami yang dulu tiap hari mengingatkan belajar, makan, mandi, les, tidur jangan kemalaman, dan kalau pacaran jangan pulang pagi, kini mulai berubah peran menjadi seorang teman baik meski kami tetap adalah anaknya. Saya dan teman-teman yang dulu memanggil "mama" sekarang gantian mulai banyak yang dipanggil "mama".

Mengingat apa hadiah terbaik yang pernah diberikan oleh ibu saya, adalah pendidikan disiplin waktu dan kultur hidup seimbang. Hidup seimbang yang selalu mengedepankan belajar dan bekerja tanpa melupakan bersenang-senang menikmati hidup dalam konteks yang positif. Hidup seimbang berlaku untuk tiap anak di rumah, untuk saya dan adik lelaki.  Susah memang, karena namanya manusia pasti inginnya bersenang-senang terus apalagi saat masih remaja sedang tinggi-tingginya kadar 'bakteri ego' yang tidak mau dengar nasihat orang lain.

Mama saya selalu mengingatkan bahwa, "Woi, sadar! Hidup senang melulu itu gak pernah ada! Kamu juga harus rajin bekerja baru nikmat bersenang-senang!" Dulu saya sempat berpikir, duh.. mamaku ganggu banget. "Gak ngertiin gue banget gitu loh!" kalo kata kids jaman now. Meskipun itu yang saya rasakan dulu, kini saya menikmati manfaatnya. Ternyata hidup teratur luar biasa nikmat. 24 jam banyak artinya. Tak heran bila ada ungkapan "Time is Money", tanpa bermaksud menjadi orang serakah atau mata duitan. Selain itu, kesetaraan antara wanita dan pria yang punya peran masing-masing juga dibangun di keluarga kami.

Sedari kecil, mama tahu bila saya senang dengar musik. Daripada ada piano nganggur, akhirnya mama datangkan guru les untuk mengasah bakat supaya terdengar denting nada di dalam rumah. Pendidikan formalpun tetap wajib saya selesaikan. Awalnya, saya gak ngerti apa-apa, taunya hanya bila dengar musik di TV/ radio dan papa lagi main piano saya merasa lebih hidup. Belajar musikpun saya lanjutkan ke sekolah musik klasik bersamaan dengan sekolah formal di Jakarta. Meskipun belajarnya susah sekali dan butuh latihan ribuan jam sampai kadang mengalahkan pendidikan formal, saya tetap berusaha yang terbaik. Seni sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup saya, apapun aktivitas dan profesi yang saya kerjakan di hari ini.   

Teringat dulu saat masih SD dan sekolah piano tahun 90an, bila akan konser dan ujian kenaikan tingkat saya harus latian intensif dengan piano khusus ujian di sekolah pusat Manggarai. Area ini jauh sekali dari rumah yang berada di Tangerang. Saya latihan sampai jam 9 malam dan mama senantiasa memberi dukungan, membelikan makan malam, mengantar serta menjemput dengan menyetir sendiri. Belum lagi kalau besok ada ulangan di sekolah, mama juga bawakan catatan dan buku pelajaran sehingga bisa baca-baca di mobil sebentar pakai senter sambil jalan pulang.  

Hal serupa juga terjadi saat saya SMA tahun 2000an. Saat itu, selain masih sekolah musik dan menempuh pendidikan formal, saya juga anggota Marching Band sekolah dengan jadwal latihan rutin seminggu 2x sampai petang dan makin intensif bila akan ikut kejuaraan nasional. SMA saya bahkan mengadakan latihan bersama penuh waktu hingga sewa penginapan dan lapangan milik Angkatan Bersenjata di Cijantung. Mama tetap antar jemput saya melewati kemacetan Jakarta dengan menyetir sendiri sampai Cijantung yang jauh meskipun beliau juga seorang wanita karir. Luar biasa!

Dengan dukungan mama yang seperti itu, sayapun tidak ingin usaha keras yang telah dilakukan bersama sia-sia. Puji Tuhan, Marching Band sekolah saya meraih juara 1 nasional di tahun 2002, dan di tahun berikutnya saya lulus SMA dan lulus Sekolah Musik. Benar-benar momen yang tak akan saya lupakan seumur hidup!

Setelah itu merupakan saatnya jadi mahasiswa. Hidup lebih mandiri dan mulai menapaki karir masa depan. Kebetulan, saya menjadi mahasiswa di salah satu Universitas yang program pendidikan Teknologi Informasi adalah wajib diambil oleh mahasiswa semua jurusan. Beruntung saya masuk ke sini, generasi milenials yang lahir di era Smartphone dan Internet baru marak saat kami di sekolah menengah menjadi lebih fasih dalam menggunakan teknologi informasi sehingga tidak kalah dengan "kids jaman now" yang sejak balita sudah pegang gadgetdan main game online.

Kilas balik pengalaman pribadi dengan teknologi. Waktu saya masih SMP baru mulai ada yang namanya Handphone. Lihat barang ini rasanya "WOW!", sebuah alat yang bisa membuat kita bicara dengan orang lain pada jarak jauh tapi lebih keren daripada walky talky. Nomor perdana sangat mahal saat itu, beda dengan sekarang tersebar di kios pinggir jalan dengan harga terjangkau. Lalu, tahun 2003, internet baru mulai masuk sampai ke rumah-rumah. Berkomunikasi dengan orang tua dan pacar bisa dengan kirim SMS dan telepon. Berkirim pesan dengan teman-teman yang berkuliah di luar negeri bisa dilakukan melalui SMS dan email. Meski jarak jauh, tapi tetap merasa dekat berkat teknologi.

Bagi saya pribadi, menjadi generasi milenials tidaklah gampang. Terutama, saat saya harus berkomunikasi dengan senior dan kepada generasi yang jauh lebih muda. Terasa sekali, milenials boleh dibilang generasi peralihan dimana kami harus memahami para senior yang masih melakukan banyak hal secara manual, tapi juga harus mampu berperilaku multitasking melek teknologi modern supaya bisa nyambung bekerjasama dengan para kids jaman nowyang lahir di periode hi-techdan maunya serba instan.Teknologi adalah bagian dari masa depan dan saya rasa hal ini sudah dipahami banyak orang yang mau melangkah maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun