Seberapa sering kita mendengar iklan yang memasarkan hunian? Mungkin tak terlalu jarang kita temukan lewat reklame di pinggir jalan, brosur di pusat perbelanjaan, dan acara khusus di televisi. Mungkin tak sedikit pula di antara kita yang sudah tak asing dengan sebutan rumah gaya Victoria, Mediterrania, Gothic, dan sebagainya. Mungkin kini kita lebih terbiasa dengan promosi rumah gaya modern dan minimalis. Atau malah, mungkin juga kita sudah mengenal istilah modern-minimalis, modern-klasik, dan paduan-paduan beragam gaya lainnya.Â
Lantas, hunian seperti apakah yang sebetulnya kita butuhkan? Arsitektur seperti apa yang paling tepat untuk kita hidupi? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak bisa singkat terjawab. Namun, maraknya penggunaan dan pembiasaan istilah-istilah tersebut menimbulkan pertanyaan baru mengenai pemahaman kita sebagai konsumen tentang produk yang dipasarkan para pengembang dan pengusaha properti, tentang prinsip hunian ideal, dan tentang arsitektur itu sendiri.
Rumah Jengki (sumber: en.wikipedia.org)
Sedangkan, gambar berikut merupakan sederet rumah Jengki. Dibangun oleh arsitek Belanda, rumah-rumah ini diperuntukkan kepada pegawai perusahaan minyak Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM, kini Pertamina) di daerah Kebayoran Baru. Atap dan dinding yang miring seperti tampak pada gambar merupakan implementasi fungsional dalam rangka menciptakan jalur talang air yang rapi sehingga tidak mengganggu fasad. Rupa yang demikian juga tercipta atas penyesuaian gaya arsitektur modern dengan iklim tropis Indonesia. Karakter yang khas dari rumah-rumah ini kemudian menyebabkan munculnya julukan rumah Jengki, berasal dari kata Yankee, merujuk pada sesuatu yang dianggap trendi pada masa itu.
Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa rumah Jengki bukanlah gaya hunian yang secara sengaja dibuat oleh sang arsitek atas prinsip formalis, melainkan merupakan sebutan yang lahir seiring popularitasnya saat itu. Sedangkan, gaya arsitektur Gothic memang dapat diamati dari keberadaan detail serta fitur tertentu yang dengan sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politis dari karya arsitekturnya.
Mungkin selain sebagai konsumen yang cermat, kita juga harus lebih jeli dalam memahami makna dari kata-kata ini, dari istilah-istilah yang secara sadar atau tidak turut membangun persepsi kita akan ruang hidup yang ideal.
Kelaziman dari istilah-istilah pemasaran tak selayaknya bercampur dengan pemahaman kita tentang hunian, tentang arsitektur yang sebenarnya kita butuhkan. Masalah perancangan dalam arsitektur sangat lekat kaitannya dengan konteks. Dalam jangkauan tertentu (dan tentunya masih bisa diperdebatkan), mungkin kita mencapai suatu konsensus bahwa pengertian dari arsitektur yang baik adalah arsitektur yang tak 'mengusik' keadaan yang tersedia, atau malah memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada menjadi suatu kondisi yang lebih baik -- lebih ideal. Kebijaksanaan semacam inilah yang mungkin belum begitu terbiasa ditempatkan dalam keseharian kita, dalam keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya. Lagi-lagi, semua itu mungkin terjadi sebagai akibat dari stigma dan opini yang berkembang dalam masyarakat dan tak sempat diklarifikasi oleh pendidikan.
Sebagai perancang, arsitek tentu tak hanya berkewajiban untuk membuat gambar kerja atau representasi grafis dan naratif dari apa yang akan dibangunnya. Permasalahan perancangan adalah permasalahan yang tak pernah usai. Menyelesaikan suatu masalah berarti menimbulkan masalah baru. Sebelum menghasilkan semua luaran representatif dari ide rancangannya, seorang arsitek pasti harus melalui proses panjang dalam mempertimbangkan berbagai variabel untuk memastikan apa yang dibangunnya bisa mengakomodasi kegiatan atau mencapai tujuan tertentu, dengan membuat pengorbanan dan memunculkan masalah baru seminimal mungkin atau malah tidak sama sekali.Â