Mohon tunggu...
Aysah
Aysah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1-Ilmu Sejarah-Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasukan Inong Balee: Pejuang Wanita dalam Bayang-Bayang Sejarah Aceh

24 Mei 2024   11:39 Diperbarui: 24 Mei 2024   11:53 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest.com/TayaMackenzie

Dalam sejarah istilah Inong Balee sudah tidak asing lagi ketika mendengar istilah ini. Istilah Inong Balee muncul pada masa Kesultanan Aceh yang dibentuk di masa kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah IV. Secara etimologis, Inong Balee berasal dari dua kata, yaitu Inong dan Balee. Inong memiliki arti 'perempuan', sedangkan Balee berarti 'teras rumah'. Jadi pasukan Inong Balee berarti perempuan yang telah ditinggal oleh suaminya karena meninggal dunia dan posisinya bergeser ke garis depan (rumah), dengan artian perempuan menjadi kepala keluarga dan siap untuk menghadapi berbagai situasi dengan sendirinya. Lebih tepatnya pasukan Inong Balee merupakan perempuan-perempuan janda yang telah ditinggal oleh suaminya yang telah gugur di medan perang. 

 Pada masa pemerintahan Sultan Alauddn Riayat Syah IV yang memerintah dari tahun 1589-1604 membentuk sebuah armada dengan pasukannya terdiri dari para janda (Inong Balee) yang suaminya telah wafat di medan perang. Armada ini dinamakan armada Inong Balee yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati. Armada ini dibentuk atas inisiatif Laksamana Keumalahayati sang pemimpin dari armada Inong Balee. Tindakan yang dilakukan oleh Keumalahayati dikarenakan suaminya yang telah gugur saat melakukan penyeangan terhadap Portugis di Malaka. Saat pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh berhasil mengalahkan para prajurit Portugis, tetapi banyak juga orang Aceh yang tewas, salah satunya adalah suami Malayahati yaitu Laksamana Muda Ibrahim. Atas inisiatifnya Keumalahayati membentuk sebuah armada perang yang pasukannya terdiri dari para janda yang telah ditinggal oleh suaminya yang gugur di medan perang. Pada masa itu, Laksamana Keumalahayati juga menjadi laksamana perempuan pertama di dunia.  

Laksamana Keumalahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee dengan menjadikan Teluk Lamreh, Kreung Raya, Aceh sebagai pangkalan perang pasukan Inong Balee. Armada ini memiliki 100 kapal perang yang dapat memuat 400-500 orang di dalamnya. Setiap kapal perang dilengkapi dengan meriam dan kapal yang paling besar memiliki lima meriam di dalam kapal. Selain memiliki kapal dan persenjataan, armada ini juga memiliki sebuah benteng yang diberi nama benteng Inong Balee sebagai tempat berkumpul para pasukan perempuan di benteng tersebut.  Sebuah peristiwa heroik yang menjadikan sebuah prestasi besar bagi armada Inong Balee adalah Laksamana Keumalahayati beserta pasukannya berhasil membunuh Cornelis de Houtman pada tahun 1598. Cornelis De Houtman kala itu diutus Belanda untuk datang ke Aceh dengan membawa 225 awak kapal Belanda. Kapal yang dipimpin Cornelis de Houtman bernama Kapal De Leeuw bersama dengan adiknya Frederick de Houtman yang memimpin Kapal De Leeuwin. Akan tetapi adiknya ini beserta 30 awak kapal Belanda hanya ditahan dan tidak dibunuh oleh Laksamana Keumalahayati dan pasukan Inong Balee. 

Keberadaan Laksamana Keumalahayati dan pasukan Inong Balee membuat Portugis dan negara Eropa lainnya menjadi risih karena dengan ketangguhan dan kuatnya armada ini di Selat Malaka bahkan di Asia Tenggara mengahalangi kebebasan negara-negara Eropa untuk masuk ke wilayah Selat Malaka. Dari sosok Laksamana Keumalahayati dan pasukan Inong Balee menunjukkan bahwa perempuan juga dapat memainkan peran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki sebagai seorang panglima yang gagah, kuat, dan pemberani. Pasukan Inong Balee sudah sejak lama membuktikan emansipasi wanita sejak masa Kesultanan Aceh dengan keberhasilan-keberhasilan yang mereka lakukan dalam berbagai pertempuran melawan penjajah. Mereka mampu mengangkat dan menggunakan senjata sehingga menjadi suatu integritas penting bagi Kesultanan Aceh kala itu. 

Sejak adanya pasukan Inong Balee telah tertanam dalam diri perempuan Aceh untuk berperan sebagai pembina, pengasuh, dan pendidik putra-putri Aceh yang berjiwa tangguh dan beriman untuk melawan berbagai bentuk penjajahan. Semangat perjuangan itu sering terdengar saat seorang ibu melantunkan senandung ketika meninabobokan anaknya dengan senandung:

"Do keudo kudoda idang, Geulayang Blang Putoeh Taloe, beurijang rayeuk hai banta seudang, tajak tulong prang bela Nanggroe"

Senandung tersebut menjadi sebuah harapan bagi seorang ibu untuk anaknya ketika sudah besar untuk membantu dan memperjuangkan kedaulatan Aceh dengan cara ikut berperang. Dengan artian bahwa seorang ibu telah memberikan didikan dan motivasi kepada anak-anaknya sejak dalam ayunan dengan menanamkan semangat perjuangan dan membela tanah airnya dalam menusir penjajahan. Setelah itu terlihat bahwa para pahlawan perempuan Aceh yang berjuang di masa penjajahan juga sebagian besar adalah Inong Balee seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun